Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan alasan inflasi di Amerika Serikat (AS) sulit turun meski suku bunga acuan Federal Reserve atau The Fed terus menanjak.
Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari kondisi saat awal terjadinya pandemi Covid-19. AS tercatat menjadi salah satu negara yang paling cepat melakukan vaksinasi, sehingga permintaan atau demand dari masyarakat secara cepat melambung.
Namun, kondisi tersebut tidak diimbangi dari sisi penawaran atau supply yang mengalami gangguan akibat terbatasnya mobilitas masyarakat dan diperparah dengan adanya ketegangan perdagangan antara AS dengan China.
“Itu terlihat kenapa impor AS dari China menurun, begitu pun dengan ekspornya yang kemudian mengganggu juga suplainya. Selain itu, perang Rusia-Ukraina juga semakin menurunkan agregat suplai atau dari sisi penawarannya,” kata Perry dalam konferensi pers pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis (22/6/2023).
Perry menyampaikan bahwa situasi itu yang membuat bank sentral AS, The Fed, begitu agresif menaikkan suku bunga acuan. Akan tetapi, setelah berulang kali menaikkan suku bunga, penurunan tingkat inflasi di negeri Paman Sam berjalan lambat.
“Kenapa setelah dinaikan [suku bunga] inflasi tidak turun? karena suplai susah naik dan demand tidak bisa hanya dikendalikan oleh kenaikan suku bunga, terlebih lagi ini karena inflasi juga terjadi di sektor jasa,” kata Perry.
Baca Juga
Di sisi lain, pembatasan imigrasi turut menjadi faktor. Pasalnya, tenaga kerja AS yang didominasi oleh para imigran menjadi terbatas. Hal ini yang akhirnya membuat fed fund rate (FFR) butuh waktu lama untuk menurunkan inflasi.
Pada bulan Mei lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi AS mencapai 4 persen (year-on-year/yoy) setelah sebelumnya sebesar 4,9 pada April 2023.Sementara itu, inflasi inti tahunan mencapai 5,3 persen yoy, lebih rendah dari bulan sebelumnya yakni 5,5 persen.