Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha industri kecil menengah di sektor tekstil terus berguguran akibat rentetan persoalan, seperti kelesuan permintaan akibat pandemi Covid-19 hingga kian membanjirnya produk impor.
Hal itu diungkapkan langsung Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman. Dia menuturkan satu per satu konveksi rumahan di Bandung mulai tutup, padahal konveksi rumahan di 'Kota Kembang' tersebut terbilang banyak.
IPKB sendiri beranggotakan sekitar 10.000 unit usaha. Secara perlahan, menurut Nandi, banyak anggota tersebut yang gulung tikar.
Nasib IKM sektor tekstil, kata Nandi, tidak memiliki harapan meski pandemi Covid-19 usai. Pasalnya, saat ini pasar domestik malah dikuasai banyak produk impor.
Padahal, menurutnya, mayoritas penduduk Indonesia menggunakan produk tekstil yang dihasilkan oleh IKM, seperti baju sehari-hari yang dipasok ke pasar-pasar di penjuru Tanah Air, seperti Pasar Tanah Abang.
“IKM baru mau bertumbuh setelah pandemi Covid-19, tapi kemudian menjadi terganggu lagi dengan adanya barang-barang bekas ini. Jadi kapan kami akan bertumbuh walaupun kami tidak mati tapi kami sedang sakit,” tutur Nandi dalam rapat bersama dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Rabu (21/6/2023).
Dalam mencari subtitusi pasar untuk produk IKM ini, Nandi menyebutkan IPKB sudah berupaya menggandeng berbagai e-commerce yang ada di Indonesia. Namun hingga kini, upaya itu belum membuahkan hasil.
“Kami sudah mencoba bekerja sama dengan e-commerce, mereka gak salah, namun penjualnya yang menjual produk impor yang lebih murah,” tambah Nandi.
Senada dengan Nandi, Sekretaris IPKB R. Soni Cipta Harsoni juga menuturkan pengusaha konveksi kehilangan peak momen seperti periode Ramadan yang seharusnya meningkatkan produktivitas IKM tekstil hingga 30 persen.
“IKM tidak mendapatkan Ramadan, berkah yang biasa dinikmati IKM di masa lalu, maka ini semakin memperjelas bahwa akan ada kejatuhan sektor tekstil,” tutur Soni dalam kesempatan yang sama di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Rabu (21/6/2023).
Padahal, menurutnya, IKM tekstil harusnya diperhatikan oleh pemerintah karena bisa menyerap tenaga kerja tanpa memandang latar belakang pendidikan pekerja. Terlebih Indonesia menurutnya tengah menghadapi bonus demografi.
“Dari sisi pendidikan, industri konveksi tidak memandang lulusan SD, SMP, SMA, yang penting bisa jahit, bisa cutting. Lalu di industri mana bisa menyerap orang begitu banyak tanpa mempermasalahkan latar belakang pendidikan,” tambah Soni.
Alhasil, untuk bertahan, IKM tekstil pun melakukan berbagai efisiensi, khsusunya pengurangan jumlah pekerja. “Tadinya karyawan digaji bulanan, mingguan harian, lalu karena tidak mampu jadi borongan. Tapi ketika order semakin menurun, di PHK-lah setengahnya, kalau masih tidak ada order, baru lah habis konveksinya,” tutup Soni.