Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan adanya kebijakan diskriminatif Eropa, EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) akan mengganggu kinerja sektor logistik Indonesia.
Bukan hanya EUDR, kebijakan mekanisme penyesuaian batas karbon (Carbon Border Adjusment Mechanism/CBAM) turut menjadi ancaman, karena menyasar industri besi dan baja yang menjadi komoditas ekspor unggulan Indonesia.
“Tentu ini logistik akan menjadi isu utama karena sebelum barang ini clear, kami nggak bisa kirim ke sana. Ke depan akan menjadi sangat banyak hambatan perdagangan yang mengatasnamakan lingkungan,” ujarnya dalam diskusi INSW di YouTube Kementerian Keuangan, Jumat (9/6/2023).
Melalu EUDR, Eropa membatasi 6 komoditas Indonesia, yaitu kopi, cacao, karet, furniture, minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), dan juga sapi.
UU antideforestasi mewajibkan perusahaan atau importir yang menjual keenam komoditas tersebut untuk memastikan bahwa produk mereka tidak berasal dari lahan hasil deforestasi atau tidak merusak lingkungan maupun hutan.
“Dampaknya itu mereka mendorong geotagging traceability. Nanti akan sangat menyulitkan bahwa untuk minum kopi, geotagging, kopi dari mana, satu bungkus kopi biji kopinya gak hanya berasal dari satu tempat,” katanya.
Baca Juga
Dua hal tersebut menjadi trade barrier atau hambatan perdagangan bagi Indonesia, terlebih EUDR tersebut telah diundangkan dan mulai diterapkan. Eropa memberikan waktu 18 bulan untuk negara negara lain menyesuaikan pada aturan miliknya.
Bahkan menurut Airlangga, pihak Eropa secara sepihak memutuskan kebijakan tersebut tanpa berkonsultasi dengan negara mitra. Terlebih lagi, Eropa tidak mengakui lisensi-lisensi produk dari Indonesia, seperti Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai standar.
Airlangga menegaskan bahwa Eropa juga belum mengakui kebijakan yang sedang berjalan, seperti di industri sawit, mereka bahkan tidak mengakui Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) milik Eropa sendiri.
Apalagi, sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan milik Indonesia dan Malaysia yang terutang dalam Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).
“Ini persoalan, dan tanpa konsultasi dengan kita. Jadi ini sebuah regulasi yang dibuat mengatur negara lain, biasanya kita regulasi mengatur diri sendiri, tetapi ini mengatur operator di negara lain,” tuturnya.
Bahkan tanpa hambatan-hambatan tersebut, Sri Mulyani menyampaikan bahwa logistic performance index Indonesia masih kalah kompetitif jika dibandingkan dengan negara-negara di Asean dan negara berkembang lainnya.