Bisnis.com, JAKARTA - Pengembangan proyek Lapangan Abadi Blok Masela hingga kini masih jalan di tempat sejak kontrak bagi hasil blok migas raksasa itu ditandatangani 25 tahun yang lalu.
Operator Blok Masela, Inpex Masela Ltd, awalnya mendapatkan kontrak selama 1998—2028 atau selama 30 tahun melalui lelang terbuka oleh pemerintah Indonesia. Kemudian, melalui pengeboran sumur eksplorasi pertama, Inpex berhasil menemukan ladang gas Lapangan Abadi pada 2000.
Cadangan terbukti Blok Masela semula sebesar 6,97 triliun kaki kubik (Tcf) dan bertambah menjadi 10,74 Tcf pada 2013. Menurut data terakhir Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Lapangan Abadi Blok Masela memiliki cadangan terbukti mencapai 18,5 Tcf dan 225 juta barel kondensat.
Namun, berbagai dinamika mengiringi pengembangan Blok Masela selama lebih dari 2 dekade ini, membuat target produksi proyek ini terus molor.
Nasib Blok Masela semakin tak jelas usai salah satu investornya, Shell Upstream Overseas Ltd memutuskan untuk hengkang sejak beberapa tahun lalu. Hingga kini, kepastian divestasi Shell juga belum jelas.
Berikut 5 penyebab Proyek Abadi Blok Masela jalan di tempat:
1. Perubahan skema pengembangan kilang LNG
Baca Juga
Awalnya pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pengembangan kilang gas alam cair (LNG) Blok Masela direncanakan di laut (offshore) atau dengan skema floating LNG (terapung).
Seiring penemuan cadangan gas baru, Inpex kemudian mengajukan rencana peningkatan kapasitas kilang dari 2,5 metrik ton menjadi 7,5 metrik ton LNG per tahun sehingga mengharuskan adanya revisi rencana pengembangan (plan of development/PoD).
Revisi PoD itu belum selesai hingga akhir masa pemerintahan SBY, yang kemudian diajukan lagi saat pemerintahan Jokowi. Namun, revisi tersebut malah memunculkan perdebatan panjang.
Kala itu, Menko Kemaritiman Rizal Ramli mempersoalkan rencana pembangunan kilang LNG terapung (FLNG). Menurutnya, lebih baik membangun kilang LNG darat di Pulau Aru, Kepulauan Maluku. Investasi kilang LNG onshore diklaim lebih murah dibanding FLNG, yakni US$19,3 miliar dibanding US$14,6 miliar-15 miliar.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat itu berpandangan bahwa proyek Blok Masela lebih efisien apabila digarap dengan FLNG. SKK Migas pun cenderung sependapat tentang penggunaan FLNG.
Akhirnya, pada 2016, Jokowi memutuskan pengembangan Blok Masela dilakukan di darat dengan harapan dapat memberi manfaat lebih besar bagi masyarakat. Inpex pun harus menyampaikan kembali PoD baru.
Konsekuensinya, konstruksi proyek Abadi yang semula diprediksi bisa dimulai pada 2018 akhirnya harus molor.
2. Revisi PoD berjalan lambat
Dalam PoD baru, Inpex mengajukan perpanjangan kontrak 20 tahun ke depan guna mendapatkan keekonomian proyek. Selain itu, juga mengajukan insentif fiskal, perubahan besaran investasi, dan bagi hasil. Pembahasan PoD berjalan lambat.
Pada 2017, pemerintah sepakat untuk memberikan perpanjangan kontrak selama 20 tahun plus 7 tahun kepada Inpex sebagai kompensasi perubahan skema pengembangan kilang LNG.
Inpex baru menyerahkan revisi PoD proyek LNG Lapangan Abadi Blok Masela kepada pemerintah pada 20 Juni 2019. Tak lama, pemerintah pun menyetujui revisi PoD tersebut.
Dalam pengembangan proyek LNG Lapangan Abadi, Inpex diproyeksikan menghasilkan gas sebanyak 9,5 juta ton per tahun dalam bentuk LNG dan 150 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd) untuk gas pipa.
3. Shell Mundur
Pada 2019, Shell memutuskan mundur dari Blok Masela. Alasannya, perusahaan asal Belanda itu tengah mengevaluasi seluruh portofolio bisnis yang ada di dunia.
Shell menilai bahwa investasi di negara lain lebih menguntungkan sehingga prioritas pada proyek Lapangan Abadi Blok Masela ditinggalkan. Imbasnya, Inpex harus mencari mitra baru untuk menggarap blok tersebut.
Adapun, Shell memiliki hak partisipasi sebesar 35 persen di Blok Masela.