Bisnis.com, JAKARTA - Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) menilai European Union Deforestation Regulation (EUDR) akan lebih berdampak terhadap petani swadaya.
Fortasbi memandang Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa itu akan mudah disiasati oleh perusahaan yang sumber pasokan sawitnya berasal dari petani plasma yang rata-rata sudah memiliki sertifikat produksi berkelanjutan. Namun, hal tersebut menjadi tantangan serius apabila perusahaan sawit sumber pasokannya berasal dari petani swadaya.
Senior Advisor Fortasbi Rukaiyah Rafik mengatakan, saat ini tantanganya petani swadaya yang memiliki sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) masih teramat sedikit. Dia mencatat, petani swadaya yang memiliki RSPO sejak 2013 baru 15.000 dari total 2,4 juta kepala keluarga.
“EUDR itu mudah tapi tidak comply dengan semua stakeholders. Ketika perusahaan ribet ya akan dipotong. Plasma [kemitraan dengan perusahaan] yang traceable rata-rata juga sudah punya ISPO atau RSPO, sedangkan swadaya yang enggak punya repot. Pasti akan disingkirkan yang swadaya,” ujar Rafik dalam diskusi di Jakarta, Rabu (7/6/2023).
Dia mengatakan, pihaknya tidak menolak EUDR lantaran bagus untuk kelestarian hutan dan ekonomi yang berkelanjutan. Dia menuturkan, EUDR merupakan rancangan regulasi yang dimiliki oleh Uni Eropa yang bertujuan mengenakan kewajiban uji tuntas terhadap tujuh komoditas pertanian dan kehutanan, termasuk kelapa sawit. Kewajiban ini adalah untuk membuktikan bahwa barang yang masuk ke pasar Uni Eropa merupakan barang yang bebas dari deforestasi.
Menurut Rafik, EUDR sejatinya lebih sederhana dibandingkan sertifikat RSPO. Oleh karena itu, petani yang sudah memiliki ISPO atau RSPO akan bisa menyesuaikan persyaratan-persyaratan dalam EUDR.
Baca Juga
“Gampang dalam arti, sudah terbiasa pendataan, sudah tahu lokasi lahannya, sudah tahu praktik terbaiknya, sudah tahu tidak boleh buka lahan hutan, dan mereka juga sudah terbiasa berhubungan dengan perusahaan. Nah, pertanyaannya bagaimana mereka yang 2,4 juta petani swadaya itu yang belum memiliki sertifikat RSPO,” jelasnya.
Dengan munculnya EUDR tersebut, bagi petani sawit swadaya tentunya sangat memberatkan. Pasalnya, petani sawit masih berkutat dengan isu-isu kesejahteraan yang saat ini masih belum baik.
“Kami bukan menolak EUDR, itu cukup baik tapi apakah itu cukup waktu? Kok, kita nggak dikasih napas dulu. Ini regulasi yang cukup baik tapi apakah ada waktu memperoleh sertifikat itu. Boro-boro ngurus sertifkat, petani masih sibuk dengan kondisi harga TBS rendah dan lain sebagainya,” ucapnya.
Adapun, EUDR merupakan regulasi yang disahkan Uni Eropa membuat pengekspor harus memiliki sertifikat yang menyatakan produk mereka tidak merusak lingkungan dan hutan. Produk yang mendapatkan rintangan, antara lain kelapa sawit, karet, sapi, hingga produk hasil hutan. Keputusan UU antideforestasi itu berlaku mulai bulan lalu dan efektif 18 bulan mendatang atau Desember 2024.