Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menkeu Sri Mulyani: Harga Minyak 2024 Sulit Diproyeksi, Bakal Pengaruhi Penerimaan Negara

Harga minyak menjadi penting karena menjadi salah satu sumber penerimaan negara dan merupakan komoditas unggulan Indonesia. 
Menkeu Sri Mulyani membacakan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2024 dalam rapat Paripurna DPR RI, Selasa (30/5/2023). Dok Kemenkeu RI
Menkeu Sri Mulyani membacakan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2024 dalam rapat Paripurna DPR RI, Selasa (30/5/2023). Dok Kemenkeu RI

Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa kondisi harga minyak dunia pada 2024 masih sulit diproyeksi dan dikhawatirkan akan mempengaruhi penerimaan negara. 

Dia menyampaikan dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024, di mana proyeksi Indonesian Crude Pice (ICP) atau harga minyak berada di rentang US$75-US$85/barel. Sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan ICP April 2023 sebesar US$79,34/barel. 

Sri Mulyani memaparkan Energy International Agency (EIA) memproyeksikan harga minyak Brent pada 2024 akan berada di angka US$74,5/barel. 

Sementara Bloomberg dan Bank Dunia sepakat memperkirakan harga minyak dunia akan berada di level US$86/barel pada tahun depan. 

Harga minyak menjadi penting karena menjadi salah satu sumber penerimaan negara dan merupakan komoditas unggulan Indonesia. 

Adapun, untuk komoditas lain seperti batubara diperkirakan akan berada di harga US$155 per ton dan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) berpotensi sedikit lebih baik pada saat konsumsi maupun permintaan global juga mulai membaik, yaitu pada level US$1.020/mt.

“Ini tentu adalah sesuatu yang kita jaga karena terus terang komoditas ini memang mempengaruhi dari sisi APBN cukup besar baik dari sisi penerimaan pajak, Bea Cukai maupun dari jenis penerimaan negara bukan pajak di sisi lain subsidi juga terpengaruh,” katanya saat Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR, Senin (5/6/2023). 

Tercatat pada kinerja APBN hingga April 2023, penerimaan pajak mencapai Rp688,15 triliun atau 40,05 persen dari target. Sementara penerimaan didominasi dari PPh nonmigas sebesar Rp410,92 triliun, sementara migas sebesar Rp32,33 triliun. 

Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari migas terkontraksi 17,3 persen akibat adanya penurunan harga ICP dan lifting minyak dan gas bumi. 

PNBP dari nonmigas masih positif akibat harga batu bara yang tinggi sehingga negara menerima Rp57,6 triliun. Sedangkan bea keluar harus anjlok 71,69 persen akibat harga CPO yang sudah termoderasi dan turunnya volume ekspor komoditas mineral. 

Di sisi lain, Organisasi Pengekspor Minyak Bumi (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) secara aktif mencoba mengelola produksi dan bahkan memotong produksinya di dalam rangka untuk menyeimbangkan permintaan yang diperkirakan akan melemah karena pertumbuhan ekonomi dunia yang melemah. 

Seperti yang Bisnis.com beritakan sebelumnya, Arab Saudi akan melakukan pemangkasan besar-besaran pada produksinya di bulan Juli. 

Hal itu dilakukan atas kesepakatan OPEC+ yang lebih luas untuk membatasi suplai hingga tahun 2024 karena kelompok ini berusaha untuk mendongkrak harga minyak yang lesu. Pada Mei tahun lalu atau 2022, harga minyak dunia sempat tembus lebih dari US$100 per barel. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper