Bisnis.com, JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali membuka ekspor pasir laut menjadi gerak mundur tata kelola sumber daya laut. Hal ini lantaran ekspor pasir laut telah dimoratorium sejak era pemerintahan Megawati Soekarnoputri.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin menyampaikan, moratorium tersebut dilakukan lantaran adanya kajian-kajian, seperti rusaknya pulau-pulau kecil, tenggelamnya sejumlah pulau, dan meluasnya wilayah Singapura.
“Indonesia nggak dapat apa-apa dulu. Jadi sebenarnya dulu ada kajiannya kenapa itu di moratorium. Tetapi Jokowi sekarang malah membuka kembali keran ekspor dan ini artinya gerak mundur, kembali lagi ke satu kondisi di mana Indonesia akan rusak,” katanya kepada Bisnis, Selasa (30/5/2023) malam.
Adanya kebijakan ini dinilai semakin memperparah dampak krisis iklim. Apalagi, banyak pulau-pulau di Indonesia yang sudah tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.
Dengan situasi itu, pemerintah seharusnya memitigasi dengan cara tidak mengeluarkan kebijakan yang kian memperparah dampak buruk krisis iklim.
Di sisi lain, terbitnya kebijakan ini dinilai ironis oleh Parid. Pasalnya, Jokowi dalam berbagai kesempatan kerap mengampanyekan penyelamatan laut dan komitmen Indonesia untuk menciptakan laut yang sehat di forum-forum internasional.
Baca Juga
“Tapi faktanya, Jokowi memproduksi kebijakan-kebijakan yang berlawan dengan itu,” ungkapnya.
Isi dari Peraturan Pemerintah (PP) No.26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, utamanya pada pasal 9 dan 10 juga menjadi sorotan Walhi.
Dalam Pasal 9, disebutkan bahwa pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan/atau ekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terkait reklamasi, Parid menuturkan, rata-rata reklamasi di Indonesia ditujukan untuk kepentingan bisnis, misalnya Pulau D dan Pulau C di Jakarta.
Sementara terkait ekspor, Parid menyebut aturan ini akan menguntungkan negara-negara kecil seperti Singapura, atau bahkan menguntungkan China lantaran China tengah gencar membangun pulau-pulau buatan di Laut China Selatan.
Aturan ini juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang No.27/2007 tentang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sebab, dalam PP No.26/2023 hanya bicara sanksi administratif, sementara dalam UU No.27/2007 memberikan sanksi pidana kurungan dan pidana denda bagi oknum yang merusak pesisir pulau kecil karena menambang pasir.
“Jadi UU ini sebetulnya bertentangan dengan UU pengelolaan pulau kecil dan juga bertentangan dengan UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” pungkasnya.