Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom memproyeksikan hilirisasi komoditas mineral logam dapat mendongkrak pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia hingga 5,8 persen pada 2028 mendatang.
Kepala Ekonom HSBC Global Research India dan Indonesia Pranjul Bhandari memandang adanya larangan ekspor bijih nikel telah memicu investasi domestik di smelter dan rantai nilai kendaraan listrik (EV).
Akibatnya, produk ekspor kini lebih bernilai tambah melalui hilirisasi. Pranjul menyampaikan bahwa dengan kondisi tersebut, seharusnya potensi pertumbuhan ekonomi juga meningkat.
“Kami yakin pertumbuhan PDB akan meningkat sebesar 0,5 persen poin [ppt] menjadi 5,8 persen pada 5 tahun mendatang,” katanya kepada media di Kuningan, Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Dia melihat dari realisasi investasi asing sebesar US$30 miliar saja dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,15 ppt.
Di sisi lain, usai menyetop ekspor bijih nikel, pemerintah juga akan menyetop ekspor bijih bauksit dan konsentrat tembaga.
Baca Juga
Pranjul mengatakan bahwa pelarangan tersebut juga akan memberikan efek seperti halnya pada nikel. Namun, tidak akan seefektif nikel yang menjadi salah satu bahan utama pembuatan baterai kendaraan listrik.
Jika sekitar setengah dari ekspor mineral mentah beralih ke logam olahan, pertumbuhan PDB diproyeksi dapat lebih tinggi sebesar 0,1 ppt.
Sementara langkah Indonesia untuk terjun ke dalam ekosistem EV, mulai dari baterai hingga kendaaraannya, Pranjul memperkirakan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2 ppt.
Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa nilai ekspor nikel Indonesia mencapai US$30 miliar pada 2022 atau naik 10 kali lipat dibandingkan ekspor pada 2017 sebesar US$3,3 miliar.
Menurutnya, yang paling banyak mendapatkan hasil adalah mereka yang telah berinvestasi membangun industri tersebut, yaitu Korea, Jepang, Eropa, dan China.