Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan saat ini kondisi dunia masih tidak baik-baik saja meski Covid-19 sudah tidak berstatus pandemi. Salah satunya diakibatkan oleh kondisi geopolitik.
“Dunia sedang tidak dalam situasi yang baik. Setelah tiga tahun pandemi, situasi geopolitik membuat krisis komoditas, harga pangan dan energi meningkat. Mendorong inflasi, terutama di Amerika Serikat dan Eropa,” ungkapnya di World Bank's Indonesia Poverty Assessment – “Pathways Towards Economic Security” di Jakarta, Selasa (9/5/2023).
Kondisi tersebut membuat Federal Reverse atau The Fed harus mengerek suku bunga acuan yang saat ini tercatat berada di posisi 5-5,25 persen. Level tertinggi dalam 16 tahun atau sejak 2007.
Efeknya bukan hanya di AS, negara-negara lain harus menyesuaikan masing-masing suku bunga.
Dampak lainnya dengan kenaikan inflasi dan suku bunga yang memiliki efek ke berbagai sektor, seperti perbankan dan lebih jauh lagi kepada tenaga kerja.
“Tingginya suku bunga dan inflasi membunuh tenaga kerja/pekerjaan. Bagi Indonesia, melindungi job sama dengan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi,” lanjutnya.
Baca Juga
Indonesia sendiri tidak serta-merta menaikkan suku bunga setelah The Fed mengumumkan kenaikan fed funds rate.
Pasalnya, inflasi yang terjadi di Indonesia akibat tingginya permintaan dari komoditas, sehingga meningkatkan harga energi dan pangan yang merupakan harga bergejolak.
“Kami mencoba memperbaiki supply, karenanya Indonesia dapat menurunkan inflasi bahkan di critical time pada Ramadan dan Lebaran,” katanya.
Sepanjang 2023 ini, Bank Indonesia terus menahan suku bunga acuan di level 5,75 persen. Inflasi pun terus menunjukkan tren penurunan. Pada April 2023 terjadi inflasi year on year (yoy) sebesar 4,33 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 114,74.