Bisnis.com, JAKARTA - Risiko mengenai gagalnya Amerika Serikat dalam membayar utangnya menjadi perhatian secara global. Tentunya hal ini juga menjadi perhatian dalam implikasinya bagi Indonesia.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef Abdul Manap Pulungan menjelaskan bahwa dampak potensi gagal bayar utang AS terhadap Indonesia dapat dilihat dari sisi dependensi Indonesia terhadap AS, mulai dari sisi perdagangan, penanaman modal, sektor moneter dan fiskal.
Pertama dalam sisi perdagangan, diketahui bahwa ekspor Indonesia ke AS sekitar 9,22 persen dan impor sekitar sebesar 4,8 persen. Jika nantinya AS akan melakukan shutdown atau terhentinya aktivitas pemerintah federal AS akibat tidak ada pendanaan, maka akan ada penurunan permintaan AS terhadap ekspor Indonesia.
Kemudian dari sisi penanaman modal, PMA AS di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 6 persen. Walaupun angka ini tidak signifikan, namun rata-rata investasi dilakukan di sektor strategis, contohnya dari sisi energi.
Selanjutnya dari sektor moneter yakni transmisi lewat nilai tukar yang pada akhirnya mempengaruhi suku bunga. Hal ini akan terjadi karena pada saat terjadi gejolak dari sisi moneter, maka akan bertransmisi lewat nilai tukar karena adanya capital outflow.
Lalu dari sektor fiskal, jika gejolak akan terus terjadi maka akan berpengaruh pada imbal hasil SBN. Ketika imbal hasil meningkat, maka akan merugikan negara lantaran biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap lelang, yang berpengaruh terhadap biaya cicilan dan pokok utang yang cenderung akan naik.
Baca Juga
“Dampak pada Yield SBN yang bergerak mulai meningkat lagi di 6,557 persen, yang sebenarnya angka ini masih cukup tinggi dibandingkan negara kawasan. Jakarta Stock Exchange juga bergerak fluktuatif,” ujarnya dalam konferensi pers Indef, Senin (8/5/2023).
Berdasarkan paparannya, Abdul menjelaskan bahwa dampak dari AS sangat jamak, mulai dari masalah kebijakan moneter, potensi gagal bayar dan kecenderungan negara lain dalam mengurangi ketergantungannya dalam menggunakan dolar.
Hal tersebut tentunya akan menghimpit ekonomi AS sendiri, dimana negeri paman sam tersebut menjadi pemilik 20 persen output ekonomi global.
Namun, jika melihat dari posisi saat ini, maka dampaknya bagi negara Indonesia tidak begitu signifikan jika tidak terjadi secara berkepanjangan.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahman kemudian menjelaskan bahwa jika resesi terus berlanjut maka dampak ke Indonesia akan makin memburuk.
Dalam data Kemendag mengenai ekspor dan impor non migas pada Januari-Februari 2023, Impor dari negara Amerika Serikat meningkat 20 persen (year-on-year/yoy), dibandingkan ekspor yang mengalami penurunan sebesar 22 persen (yoy).
“Justru resesi AS yang terjadi dimanfaatkan oleh AS meskipun kita masih surplus terhadap AS, tapi justru malah menambah pundi-pundi AS karena impor dari AS makin besar dan ekspor makin turun drastis. Hal ini menjadi catatan,” ujar Tauhid.
Perlu diketahui bahwa ekspor utama Indonesia seperti alas kaki, furnitur, kayu dan lainnya juga menjadi industri strategis yang mengalami keterpurukan. Tauhid kemudian mengatakan bahwa wajar industri terpuruk sangat terkait dengan resesi di Amerika.
"Jika Amerika Serikat tidak membayar [utang] resesi akan semakin memburuk. Otomatis kita [Indonesia] terdampak jika tidak antisipasi," jelasnya.
Kemudian, diketahui bahwa utang Indonesia ke AS sebesar Rp4 triliun, dengan kontribusi sebesar 67,41 persen di bulan Maret. Jika rupiah melemah dalam kondisi The Fed yang menaikan suku bunga serta nilai tukar rupiah yang tertekan, maka secara otomatis porsi utang dalam bentuk mata uang asing akan semakin membesar.
Selanjutnya Indonesia juga memiliki utang ke negara bilateral termasuk Amerika. Dalam situasi ini perlu dilihat apakah AS akan tetap memberikan utang ke Indonesia, mengingat jumlahnya yang cukup besar yakni US$32 juta atau sekitar Rp470 miliar.
Untuk itu, Tauhid menyarankan bahwa perlu untuk mencari alternatif dengan melakukan diversifikasi utang pada negara bilateral dengan fiskal yang cukup baik. Rupiah juga tidak boleh melemah.