Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) berharap semua pihak tidak terlalu mengkhawatirkan dampak fenomena El Nino terhadap industri sawit, khususnya minyak goreng.
Gimni justru menilai ada tiga persoalan industri sawit yang krusial, yaitu regulasi Uni Eropa soal deforestasi, banyaknya perkebunan sawit yang masih masuk kategori hutan, serta pasar global yang lesu.
Direktur Eksekutif Gimni Sahat Sinaga mengatakan, bila curah hujan berada di level 3.000 milimeter per tahun dan matahari tetap bersinar antara 7-8 jam sehari, serta kelembaban udara bisa berada di sekitar RH 90-93 persen, pada dasarnya penyerbukan buah sawit akan baik.
Ditambah dengan pemupukan yang baik, maka produksi sawit akan melimpah, dengan catatan bahwa benih sawit dari pohon itu adalah benih unggul.
“Kalau benihnya sudah 'mariles' [ asal-asalan] ya, cuaca bagaimanapun ya gitu-gitu saja [produktivitasnya],” ucap Sahat kepada Bisnis, Senin (8/5/2023).
Sahat tidak menampik adanya El Nino atau panas tinggi di Samudra Hindia menimbulkan uap air yang tinggi pula dan ini menyebabkan banyak banjir di areal perkebunan sawit di Sumatra Utara dan Sumatra Barat. Namun, menurutnya, hal tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan.
Baca Juga
“Jadi sebagian areal perkebunan sawit yang berada di 25 provinsi itu, sebagian akan terkena udara kering dan sebagian lagi perkebunan sawit masih berproduksi dengan baik. Kemungkinan terkena pengurangan produksi sawit akibat EL Nino yang tidak merata ini tidak terlalu signifikan,” jelas Sahat.
Sementara itu, menurutnya, ada persoalan lain yang lebih krusial tengah dihadapi industri sawit. Persoalan tersebut, antara lain regulasi Uni Eropa (UE) yang menyatakan tidak akan menerima produk termasuk sawit yang berasal dari deforestasi, banyak perkebunan sawit yang masih remang-remang dan tidak jelas masa depannya, karena masih masuk kategori berada di kawasan hutan, dan lesunya permintaan minyak nabati di pasar global.
“Kalau negara tetangga kita, begitu akuratnya pendataan areal kebun sawitnya, cukup pemerintahnya membuat surat pernyataan bahwa sawit mereka berasal dari lokasi X dan bebas deforestasi. Saya kira UE akan menerima pernyataan tersebut. Sebaliknya menjadi pertanyaan di Indonesia, siapa yang dipercaya UE yang bisa membuat 'surat sakti' bebas deforestasi dari sawit yang diekspor ke UE,” tutur Sahat.
Dia memperkirakan, akibat dari regulasi UE yang mewajibkan produk impor harus bebas deforestasi, Malaysia yang juga merupakan produsen sawit akan menikmatinya.
“Sawit mereka akan mudah diterima di UE dan produk Indonesia akan memasok kekurangan pasokan mereka, dan banyak yang tidak bisa tembus ke EU. Pandangan saya dari DMSI, inilah yang perlu kita cermati secepatnya. Bukan halu El Nino,” tegas Sahat.
Diberitakan sebelumnya, El Nino yang merupakan fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal di Samudra Pasifik diprediksi akan melanda Indonesia pada Agustus 2023. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pun meminta semua pihak bersiap menghadapi El Nino ini.
Menko Luhut mengatakan, kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah harus bersiap melakukan upaya mitigasi menghadapi El Nino. Berdasarkan pengalaman di 2015, El Nino berpotensi menyebabkan dampak kekeringan yang luas, termasuk juga kebakaran hutan.
Dengan kekeringan ini akan membuat produksi pangan terdampak sehingga sangat berpotensi meningkatkan angka inflasi. Hal inilah yang diminta oleh Menko Luhut untuk diantisipasi.
"Saya meminta seluruh kementerian/lembaga terkait juga pemerintah daerah untuk mulai bersiap sejak dini, memperhitungkan segala langkah yang mesti ditempuh agar pengalaman buruk 8 tahun lalu tidak terulang kembali. Setidaknya sejak saat ini kami menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata menghadapi El Nino," katanya dalam unggahan di akun Instagram pribadinya @luhut.pandjaitan, Rabu (26/4/2023).