Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ADB Sebut Kesenjangan Pembiayaan Infrastruktur Makin Menantang Pascapandemi

Setelah pandemi, tingkat utang naik, pendapatan pajak turun, dan belanja publik membengkak. Hal ini membatasi pendanaan publik langsung untuk infrastruktur.
Presiden ADB Masatsugu Asakawa (kanan) mengumumkan Innovative Finance Facility for Climate in Asia and the Pacific (IF-CAP), sebuah program baru untuk mendanai penanganan perubahan iklim, saat konferensi pers dalam Pertemuan Tahunan ke-56 ADB di Incheon, Korea Selatan, Selasa (2/5/2023)./Bisnis-Sri Mas Sari
Presiden ADB Masatsugu Asakawa (kanan) mengumumkan Innovative Finance Facility for Climate in Asia and the Pacific (IF-CAP), sebuah program baru untuk mendanai penanganan perubahan iklim, saat konferensi pers dalam Pertemuan Tahunan ke-56 ADB di Incheon, Korea Selatan, Selasa (2/5/2023)./Bisnis-Sri Mas Sari

Bisnis.com, INCHEON – Negara-negara Asean dan China, Jepang, dan Korea Selatan mengakui bahwa pembiayaan untuk menutup kesenjangan infrastruktur yang sangat penting makin menantang.

Setelah pandemi, tingkat utang naik, pendapatan pajak turun, dan belanja publik membengkak. Hal ini sangat membatasi pendanaan publik langsung untuk infrastruktur.

“Selain itu, pasar keuangan Asia yang sedang berkembang pada umumnya berskala terlalu kecil, dan tidak mampu mendukung besarnya pembiayaan yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur,” tulis ADB dalam laporan Reinvigorating Financing Approaches for Sustainable and Resilient Infrastructure in Asean+3 yang diluncurkan, Selasa (2/5).

Pembiayaan tradisional juga tidak memandang infrastruktur publik sebagai kelas aset investasi secara otomatis. Pembiayaan tradisional beragam dengan berbagai struktur kontrak dan kerangka peraturan. Selain itu, hanya ada sangat sedikit data untuk melacak kinerja. Terlebih lagi, pipeline proyek-proyek bankable yang sangat sempit.

Sektor swasta juga enggan bergabung dalam pembiayaan infrastruktur jangka panjang karena beberapa alasan struktural. Beberapa di antaranya kebijakan yang tidak konsisten, ketidakstabilan peraturan, kesulitan dalam menyiapkan proyek yang bankable, persepsi risiko pengembalian yang rendah, dan kurangnya insentif atau mekanisme pengurangan risiko.

Ada pula lebih banyak tekanan untuk proyek-proyek infrastruktur agar melampaui risiko yang dapat diterima dengan return yang dapat dihasilkan untuk memastikan mereka ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Terakhir, rangkaian risiko bisnis, operasional, ekonomi, dan politik yang terkait dengan investasi infrastruktur seringkali terlalu tidak pasti, terutama bagi investor institusional dan swasta untuk memproyeksikan hasil jangka panjang yang stabil dari aset infrastruktur.

Laporan ADB menyebutkan negara-negara berkembang di Asia perlu berinvestasi US$13,8 triliun atau US$1,7 triliun per tahun di sektor infrastruktur mulai 2023 hingga 2030, untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan merespons perubahan iklim.

Khusus untuk ekonomi Asean, total kebutuhan investasi infrastruktur diperkirakan setidaknya US$2,8 triliun untuk periode yang sama atau US$184 miliar per tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper