Bisnis.com, INCHEON – Negara-negara Asean dan China, Jepang, dan Korea Selatan mengakui bahwa pembiayaan untuk menutup kesenjangan infrastruktur yang sangat penting makin menantang.
Setelah pandemi, tingkat utang naik, pendapatan pajak turun, dan belanja publik membengkak. Hal ini sangat membatasi pendanaan publik langsung untuk infrastruktur.
“Selain itu, pasar keuangan Asia yang sedang berkembang pada umumnya berskala terlalu kecil, dan tidak mampu mendukung besarnya pembiayaan yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur,” tulis ADB dalam laporan Reinvigorating Financing Approaches for Sustainable and Resilient Infrastructure in Asean+3 yang diluncurkan, Selasa (2/5).
Pembiayaan tradisional juga tidak memandang infrastruktur publik sebagai kelas aset investasi secara otomatis. Pembiayaan tradisional beragam dengan berbagai struktur kontrak dan kerangka peraturan. Selain itu, hanya ada sangat sedikit data untuk melacak kinerja. Terlebih lagi, pipeline proyek-proyek bankable yang sangat sempit.
Sektor swasta juga enggan bergabung dalam pembiayaan infrastruktur jangka panjang karena beberapa alasan struktural. Beberapa di antaranya kebijakan yang tidak konsisten, ketidakstabilan peraturan, kesulitan dalam menyiapkan proyek yang bankable, persepsi risiko pengembalian yang rendah, dan kurangnya insentif atau mekanisme pengurangan risiko.
Ada pula lebih banyak tekanan untuk proyek-proyek infrastruktur agar melampaui risiko yang dapat diterima dengan return yang dapat dihasilkan untuk memastikan mereka ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Baca Juga
Terakhir, rangkaian risiko bisnis, operasional, ekonomi, dan politik yang terkait dengan investasi infrastruktur seringkali terlalu tidak pasti, terutama bagi investor institusional dan swasta untuk memproyeksikan hasil jangka panjang yang stabil dari aset infrastruktur.
Laporan ADB menyebutkan negara-negara berkembang di Asia perlu berinvestasi US$13,8 triliun atau US$1,7 triliun per tahun di sektor infrastruktur mulai 2023 hingga 2030, untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan merespons perubahan iklim.
Khusus untuk ekonomi Asean, total kebutuhan investasi infrastruktur diperkirakan setidaknya US$2,8 triliun untuk periode yang sama atau US$184 miliar per tahun.