Bisnis.com, INCHEON – Bank Pembangunan Asia (ADB) mengumumkan program baru bernama Innovative Finance Facility for Climate in Asia and the Pacific (IF-CAP) sebagai senjata baru dalam perang melawan perubahan iklim.
Pembiayaan IF-CAP akan berkontribusi pada peningkatan ambisi pendanaan ADB sebesar US$100 miliar untuk perubahan iklim selama 2019–2030 dari sumber dayanya sendiri. ADB sedang berdiskusi dengan calon mitra seperti sumber bilateral dan multilateral, sektor swasta, dan filantropi, termasuk Global Energy Alliance for People and Planet—untuk mengatalisasi investasi iklim.
Mitra awal IF-CAP adalah Denmark, Jepang, Republik Korea, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat. Para mitra tersebut sedang berdiskusi dengan ADB tentang penyediaan berbagai hibah untuk persiapan proyek beserta jaminan untuk sebagian dari portofolio pinjaman pemerintah ADB.
Presiden ADB Masatsugu Asakawa saat membuka Pertemuan Tahunan ADB ke-56 di Incheon, Korea Selatan, Selasa (2/5), mengatakan pengurangan eksposur risiko oleh jaminan itu akan memungkinkan ADB mengentaskan modal guna mempercepat pinjaman baru untuk proyek-proyek iklim.
Menurutnya, dengan model ‘US$1 masuk, US$5 keluar’, ambisi awal jaminan senilai US$3 miliar dapat menghasilkan pinjaman baru hingga US$15 miliar untuk proyek iklim yang sangat dibutuhkan di seluruh Asia dan Pasifik.
“Mekanisme penjaminan leverage untuk pembiayaan iklim ini belum pernah diadopsi oleh bank pembangunan multilateral,” ujar Asakawa.
Baca Juga
ADB berkomitmen untuk mengekspansi investasi energi terbarukan dan tidak akan berinvestasi di batu bara.
Sebelum IF-CAP, ADB telah meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) –mekanisme pembiayaan campuran (blended finance)— dalam UN COP 26 di Inggris pada 2021. Di bawah mekanisme ETM, ADB tahun lalu telah meneken nota kesepahaman (MoU) untuk memensiunkan dini salah satu pembangkit listrik tenaga batubara, yakni PLTU Cirebon-1 berkapasitas 660 megawatt (MW) milik Cirebon Electric Power (CEP) di Jawa Barat.
Asakawa melanjutkan, sejak 2000, lebih dari 40% bencana terkait iklim terjadi di Asia dan Pasifik. Lebih dari 3,5 miliar orang terkena dampaknya, dengan hampir satu juta kematian. Pada 2050, 1 miliar orang lagi yang tinggal di daerah perkotaan akan menderita polusi udara dan tekanan panas yang berbahaya.
Selain itu, negara berkembang anggota Bank Pembangunan Asia telah mengalami kerugian fisik akibat bencana sebesar US$67 miliar.
“Jika kita tidak bertindak, peningkatan kerugian tahunan akan melebihi pertumbuhan PDB kawasan,” ujar Asakawa.