Bisnis.com, JAKARTA — Di balik kesuksesan Korea Selatan menggempur ekonomi dan budaya di berbagai belahan dunia, ternyata tersembunyi potret kemiskinan di bawah tanah Negeri Ginseng tersebut.
Film asal Korsel, Parasite yang menyabet dua penghargaan Oscar 2020 ternyata tidak sepenuhnya fiksi. Potret kesenjangan sosial di negara tersebut memang terjadi di bawah tanah gedung bertingkat.
Sebagai informasi, Parasite bercerita mengenai satu keluarga sangat miskin. Seluruh anggota keluarga tersebut merupakan pengangguran hingga harus hidup di sebuah properti yang kalah tinggi dengan jalan raya.
Mengutip BBC, ternyata ribuan orang berusia muda di Korsel memang ada yang harus hidup di basement apartemen yang sempit dan tidak mendapatkan cahaya matahari. Kebanyakan memilih tempat tinggal tersebut karena harga sewa yang jauh lebih murah dibandingkan tempat tinggal layak di negara asal K-Pop.
Tempat tinggal bawah tanah itu disebut banjiha. Pada musim panas, penghuninya akan bertempur dengan kelembapan yang luar biasa dan jamur yang tumbuh subur.
Kamar mandi di Banjiha juga sangat jauh dari kata nyaman. Ukurannya kecil hingga membuat penggunanya harus merenggangkan kaki agar kepala tidak terbentur langit-langit.
Baca Juga
Mengutip NBC News, pemerintah Korsel tengah merencanakan untuk melarang banjiha sebagai tempat tinggal. Wacana ini muncul setelah ada satu keluarga tewas terendam banjir di dalam apartemen Parasite mereka.
"Rumah di ruang bawah tanah dan setengah ruang bawah tanah atau banjiha adalah model perumahan terbelakang yang mengancam kelompok orang yang rentan dan mereka harus pergi," kata Walikota Seoul Oh Se-hoon kepada NBC News.
Menurut data Walikota Seoul sekitar 200.000 orang tinggal di banjiha. Artinya ada sekitar 2 persen populasi Seoul yang hidup di tempat tinggal tidak layak di ibu kota Korsel.
Adapun sebenarnya sudah ada aturan dari pemerintah daerah yang melarang hunian di area bawah tanah pada 2012. Akan tetapi sekitar 40.000 banjiha malah dibangun dalam satu dekade sejak aturan itu disahkan.
Pada tahun 2018, PBB mencatat bahwa meskipun Korsel merupakan ekonomi terbesar ke-11 di dunia, satu pekerjaan rumah negara tersebut adalah menyediakan hunian layak dan terjangkau. Hal ini utamanya bagi kaum muda yang baru berkerja dan orang miskin.
Sebagai gambaran, penduduk Korsel dengan usia kurang dari 35 tahun, harus mengeluarkan uang 50 persen dari total pendapatan untuk mendapatkan hunian layak. Alhasil banjiha menjadi opsi bagi mereka untuk memiliki alokasi dana simpanan.
Menurut BBC, sewa bulanan banjiha sekitar 540.000 won atau sekitar Rp6,06 juta per bulan. Cukup jauh bila dibandingkan dengan harga rata-rata sewa apartemen di Seoul yang mencapai 1,5 juta hingga 2 juta won atau Rp16,84 juta hingga Rp22,45 juta.
Sementara itu rata-rata gaji bulanan penduduk usia 20-an adalah 2 juta won atau sekitar Rp22,45 juta.
Di balik cerita kemiskinan banjiha, tidak semua penghuni tersebut hidup dalam nestapa. BBC melaporkan seorang Oh kee-cheol's memilih tinggal di banjiha secara sadar untuk menghemat lebih banyak uang.
Kendati demikian dia tidak menyangkal dia harus berhadapan dengan rasa kasihan orang kepada dirinya karena harus tinggal di bawah tanah. "Di Korea, orang-orang berpikir penting untuk memiliki mobil dan rumah yang bagus. Saya rasa banjiha adalah simbol kemiskinan," katanya.
Produk Sejarah
Banjiha ternyata bukan tercipta dari kesenjangan ekonomi semata. Hunian ini bermula dari ruang-ruang kecil yang lahir dari konflik Korea Utara dan Korea Selatan.
Pada 1968, Korut menyelinap ke Korsel dalam misi membunuh Presiden Korsel Park Chung-hee. Serangan ini gagal, tapi menghasilkan ketegangan luar biasa antara kedua negara.
Pemerintah Korsel pun mulai khawatir dengan eskalasi hubungan kedua negara. Pada 1970 pemerintah mengeluarkan aturan yang mewajibkan low-rise apartment memiliki ruangan bawah tanah yang dapat digunakan sebagai bunker bila terjadi serangan militer.
Seiring dengan meredanya tensi Korsel-Korut, ruangan bawah tanah itu mulai disewakan dan kini dikenal dengan sebutan banjiha. Saat krisis 1980-an, dengan hunian yang semakin menipis di ibu kota, pemerintah terpaksa melegalkan ruang bawah tanah ini untuk ditempati masyarakat.