Bisnis.com, JAKARTA - Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyatakan bahwa produksi beras dalam negeri sebenarnya mencukupi untuk konsumsi secara nasional seperti yang tercatat dalam Prognosa Beras Nasional 2023. Namun, pemerintah masih harus melakukan impor 2 juta ton pada tahun ini agar bisa memenuhi stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog.
CBP tersebut diperuntukkan di antaranya agar pemerintah bisa mengintervensi harga beras jika meroket di pasaran dan juga untuk kebutuhan tak terduga seperti bencana alam.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa memastikan data Bapanas dengan Kementerian Pertanian sama, bahwa produksi nasional mencukupi untuk konsumsi dalam negeri. Bahkan, menurutnya, produksi nasional sendiri surplus sekitar 1,3 juta ton tahun ini.
“Pada saat prognosa yang kami buat 30 juta ton [konsumsi beras dalam negeri setahun] itu tidak memasukkan kebutuhan cadangan pangan pemerintah. Begitu ketika memasukkan cadangan pangan akan kelihatan kita surplus yang 1,3 juta ton itu memang kurang. Tapi harus fair disitu, untuk konsumsi saja memang setiap tahun surplus,” ujar Ketut dalam diskusi daring, Selasa (18/4/2023).
Dalam Prognosa Beras Nasional 2023, Bapanas memproyeksikan kebutuhan beras beras nasional selama Januari-Desember 2023 sebesar 30,9 juta ton dengan konsumsi rata-rata per bulan 2,6 juta ton. Sedangkan produksi gabah kering giling (GKG) tahun ini sebesar 55,4 juta ton dan jika dikonversi ke beras sebesar 31,9 juta ton. Produksi beras tersebut ditambah juga dengan hasil impor dari Januari-Februari sebesar 433.317 ton.
Merujuk data Badan Pusat Statistik, sejak 2018 Indonesia surplus beras. Tapi volume surplus itu terus turun, dari 4,7 juta ton pada 2018 hanya tinggal 1,34 juta ton pada 2022 dan tahun ini pun diperkirakan angkanya sama.
Baca Juga
Akan tetapi, Ketut mengungkapkan surplusnya beras tersebut akan defisit jika ditambah kebutuhan untuk Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) atau Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang harus ada di Perum Bulog yaitu sebesar 2,4 juta ton pada 2023.
“Tapi kita tidak memasukkan cadangan pangan sebesar 2,4 juta ton disitu. Maka produksi nasional akan kurang, meski ada carry over tahun sebelumnya 1,8 juta ton,” jelasnya.
Sedangkan, menurut Ketut, tahun ini Bulog kesulitan untuk menyerap beras dalam negeri untuk CBP lantaran harganya yang tinggi, yakni di atas Rp5.500 per kilogram (kg) untuk gabah kering giling. Padahal, dalam ketentuannya floor price Bulog Rp5.000 per kg. Per 17 April Bulog menyerap beras kurang dari 200.000 ton dari petani, sedangkan BUMN pangan itu ditargetkan menyerap beras hingga 70 persen saat musim panen saat (biasanya Maret-April) ini dari total target 2 juta ton hingga akhir tahun.
Padahal, kondisi di lapangan saat ini juga stok di penggilingan menipis sehingga membuat pengusaha beras menengah-besar menaikkan harga.
“Jadi kondisi stok penggilingan pun setelah kita berdiskusi dengan mereka, sedang menipis. Maka ketika panen 2023 kejadianlah mereka berebut. Kejadian juga ada teman-teman kita [pengusaha] yang menjadi price maker sehingga mereka memasang di angka yang cukup tinggi gabahnya oleh penggilingan menengah-besar,” tutur Ketut.
Lebih lanjut, Ketut mengungkapkan mendesaknya importasi beras tahun ini juga dikarenakan adanya perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta Bapanas untuk melakukan penyaluran bantuan sosial (bansos) beras 10 kg untuk 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) selama tiga bulan, Maret-Mei dan diperpanjang dari Juni hingga Agustus.
“Oleh karena mengimbau teman teman penggilingan dan petani bisa mendorong suplainya ke Bulog. Karena sudah beberapa tempat bisa,” ucapnya.
Terakhir, jumlah impor beras khusus menurun juga menyebabkan stok nasional kurang. Ketut menyebut beras Jasmine yang selama ini diimpor ternyata bisa diganti dari produksi domestik. “Memang ini belum jelas benar. Akan tetapi, penurunan impor itu juga berpengaruh pada pasokan beras,” sebutnya.