Bisnis.com, JAKARTA - Pemulihan ekonomi global pascapandemi memasuki babak baru. Tutupnya Sillicon Valley Bank, Signature Bank, dan Credit Suisse Bank mengirimkan pesan proses normalisasi kebijakan sektor keuangan tidak berjalan mulus. Normalisasi kebijakan moneter dan fiskal termasuk quantitative tightening (QT) menghadapi dilema kebijakan, antara menjaga stabilitas sistem keuangan dan menjaga arah pemulihan ekonomi.
Secara sederhana, QT adalah kebalikan dari quantitative easing (QE). QT adalah kebijakan mengurangi jumlah uang beredar di pasar dengan cara menjual aset keuangan yang dibeli selama QE. Tujuannya adalah mengurangi ukuran neraca bank sentral yang meningkat tajam selama QE guna melawan inflasi. QT mulai diimplementasikan The Fed pada Juni 2022.
Namun, sejatinya para ekonom masih memperdebatkan efektivitas QT. QT baru diimplementasikan tahun 2017—2019 oleh The Fed sebagai normalisasi kebijakan pasca krisis keuangan global 2008. Belum selesai siklus QT, The Fed memulai kembali QE karena pandemi Covid-19 pada tahun 2020.
Beberapa dampak awal mulai terlihat dari implementasi QT di pasar keuangan Amerika Serikat. Pertama, kenaikan suku bunga yang tajam. Suku bunga US Treasury Note naik dari sekitar 0,5% pada awal pandemi menjadi mencapai sekitar 4% pada November 2022 dan bulan Maret 2023. Suku bunga mortgage pun mengikuti dari sekitar 3% menjadi 7%. Kenaikan suku bunga di Amerika Serikat ini berdampak pada kenaikan suku bunga di pasar keuangan global.
Kedua, penurunan harga aset keuangan. Suku bunga dan harga obligasi sejatinya berkebalikan. Pada masa pandemi, bank maupun lembaga keuangan meningkatkan kepemilikannya pada obligasi khususnya obligasi negara karena aktivitas ekonomi yang menurun tajam.
Ketiga, kerentanan bank meningkat. Ambruknya SVB dan beberapa bank regional merupakan contoh bank yang tidak mampu mengelola aset dan liabilitas akibat penurunan aset yang terlalu tajam di tengah upaya penarikan dana nasabah yang meningkat di sisi liabilitas. Bagaimana dengan kinerja pemulihan ekonomi domestik?
Perlu dilihat transmisi fenomena global melalui 2 jalur yaitu jalur keuangan dan jalur perdagangan. Dari jalur keuangan, minat investor asing masuk ke Indonesia justru meningkat. Selama tahun 2023, arus dana asing terus masuk, meski sempat terjadi outflow sejak pertengahan Maret 2023. Hingga 5 April 2023, investor nonresiden melakukan pembelian neto sebesar Rp59 triliun di pasar SBN dan Rp4,65 triliun di pasar saham.
Dari sisi suku bunga, di tengah kenaikan yield UST yang tajam, kenaikan yield SBN 10 tahun pun relatif terkendali. Pada periode Januari 2022—November 2022, memang terjadi kenaikan yield SBN 10 tahun dari kisaran 6,3% menjadi kisaran 7,6%. Namun, memasuki periode inflow sejak akhir 2022, yield SBN 10 tahun terus menurun. Pada minggu pertama April 2023, yield SBN 10 tahun tercatat sebesar 6,67%. Hal ini mendorong penyempitan yield spread antara SBN dan UST 10 tahun. Bahkan yield spread Indonesia pada bulan Maret lebih baik dibandingkan negara peer, seperti Brasil, India, Afrika Selatan, dan Meksiko.
Nilai tukar rupiah pun relatif terjaga ditopang masuknya investor asing khususnya pasar SBN. Rupiah memang sempat tertekan pada November 2022 hingga berada di kisaran Rp15.700 per dolar AS. Dibandingkan akhir Desember 2022, nilai tukar Rupiah pada 15 Maret menguat 1,32%.
Ketersediaan likuiditas untuk lelang SBN selama tahun 2023 juga memenuhi. Hal ini tecermin pada kenaikan jumlah lelang yang dimenangkan pada setiap lelang. Pada kuartal I/2023 tercatat rata-rata lelang yang dimenangkan sebesar Rp37,2 triliun, sementara tahun lalu tercatat sebesar Rp32,5 triliun.
Dinamika rebalancing posisi SBN antar pelaku selama 2023 pun tidak terlalu cepat. Kepemilikan bank di SBN turun secara perlahan selaras dengan peningkatan kredit. Pada akhir bulan Januari 2023, bank memiliki SBN Rp1.836 triliun dengan pangsa 34%. Sementara itu, pada akhir maret 2023, kepemilikan bank di SBN menurun menjadi Rp 1.733 triliun dengan pangsa 31%. Di sisi lain, kepemilikan asing dan individual terhadap SBN terus meningkat secara konsisten.
Kondisi perbankan pun tetap stabil. Kredit perbankan tetap tumbuh sebesar 10,64% (YoY) pada Februari 2023. Kredit investasi tumbuh lebih cepat sebesar 13% (YoY). Di tengah pertumbuhan kredit, likuiditas bank tetap kuat. Komposisi dana pihak ketiga didominasi dana murah yang relatif stabil dan tidak terlalu terpengaruh suku bunga. Berbagai indikator risiko likuiditas seperti rasio alat likuid/DPK dan rasio alat likuid/non-core deposit juga jauh di atas threshold.
Dari jalur perdagangan, neraca perdagangan Indonesia terus mencatatkan surplus selama 34 bulan beruntun hingga Februari 2023. China, Amerika Serikat, Jepang, dan India tercatat sebagai negara tujuan ekspor yang terbesar dengan dominasi barang terbesar adalah industri pengolahan, pertambangan dan lainnya, dan migas. Hal ini mengindikasikan jalur perdagangan tetap kuat meskipun terdapat tendensi perlambatan akibat penurunan harga komoditas dan perekonomian mitra dagang yang melambat.
Pantauan kinerja permintaan domestik sendiri terus membaik baik dari sisi keyakinan konsumen, tendensi bisnis maupun penerimaan pajak. Kinerja penerimaan pajak Januari—Feberuari 2023 mengkonfirmasi menguatnya aktivitas ekonomi domestik. Penerimaan PPN dalam negeri tumbuh 121% seiring dengan peningkatan konsumsi dalam negeri. PPh pasal 21 tumbuh 21,14% didukung utilisasi dan upah tenaga kerja, PPh Badan juga tumbuh 33,8%.
Kerentanan pemulihan ekonomi akan terus berlanjut. Tiga pelajaran dapat menjadi pertimbangan bagi pemangku kebijakan. Pertama, koordinasi fiskal dan moneter menjadi syarat mutlak. Kedua, menjaga konsistensi dan kredibilitas kebijakan. Ketiga, kombinasi kebijakan book smart dan street smart menjadi krusial di tengah situasi yang penuh ketidakpastian. Berkaca dari pengalaman Taper Tantrum 2013, kiranya kita perlu mengingat bahwa ketidakpastian dan turbulensi pernah kita lewati.