Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Begini Kata APNI soal Dampak Kebijakan IRA AS ke Tambang Nikel RI

Paket kebijakan Inflation Reduction Act/IRA dari AS berpotensi mendiskriminasi produk mineral asal Indonesia. Begini dampaknya untuk tambang nikel di Indonesia
Nikel/Istimewa
Nikel/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Industri hulu pertambangan serta pengolahan awal bijih nikel di dalam negeri belum terdampak serius dari kebijakan diskriminatif insentif baterai hingga kendaraan listrik yang diatur dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) Amerika Serikat.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan, industri tambang bijih nikel di dalam negeri belum sampai pada produk hilir bernilai tinggi. Menurut Meidy, sebagian besar produk yang dihasilkan baru sebatas pengolahan awal bijih nikel kadar rendah atau limonit, seperti nikel sulfat dan kobalt sulfat. 

Adapun, sejumlah produk itu dijual kembali ke sejumlah negara untuk diolah kembali sebagai produk lanjutan bahan baku baterai listrik, seperti prekursor dan katoda. Menurut Meidy, beberapa negara tujuan ekspor barang setengah jadi itu di antaranya China, Jepang, dan Korea Selatan. Dengan demikian, keterikatan produk olahan nikel untuk pasar Amerika Serikat saat ini belum signifikan. 

“Pengusaha baik hulu dan hilir tidak terlalu terdampak banyak ya kita dimasukkan ke dalam IRA karena produknya kita kan masih setengah jadi belum sampai hilir banget,” kata Meidy dalam siaran Mining Zone CNBC, Senin (10/4/2023). 

Situasi pasar itu, kata Meidy, membuat kebijakan IRA saat ini belum berdampak serius pada pengaruh investasi serta perdagangan olahan bijih nikel di dalam negeri.  

Kendati demikian, dia berharap pemerintah dapat memperbaiki aspek lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola atau ESG dalam pertambangan hingga pemurnian sejumlah material kritis di Indonesia untuk meningkatkan daya tawar Indonesia pada kebijakan IRA mendatang. 

“Kembali lagi kita bicara insentif pemerintah Amerika Serikat untuk green energy dalam rangka menuju EBT, sekarang apakah kita sudah layak menerima itu, apakah kita sudah sesuai dengan good mining practices sejalan dengan UU IRA tersebut,” kata dia.

Seperti diketahui, sejumlah komitmen investasi pada penghiliran mineral kritis dan batu bara di Indonesia belakangan batal dilaksanakan akibat daya tarik IRA yang kuat bagi investor global. 

Misalkan, Air Products & Chemical Inc (APCI) belakangan menarik komitmen investasi mereka sebesar US$2,1 miliar atau setara dengan Rp30 triliun dari proyek pengembangan gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) bersama dengan PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) di Muara Enim, Sumatra Selatan awal tahun ini.

Selain itu, APCI lewat usaha patungan bersama dengan PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources, PT Air Products East Kalimantan (PT APEK), juga menarik investasi mereka sebesar Rp33 triliun untuk proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol dari kesepakatan bersama dengan anak usaha PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), Kaltim Prima Coal (KPC). 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan, mundurnya APCI dari proyek hilirisasi batu bara di Indonesia disebabkan karena paket insentif dan subsidi energi baru terbarukan (EBT) yang ditawarkan pemerintah dianggap kurang menarik.

“Air Product merasa di Amerika Serikat lebih menarik bisnisnya jadi dia ke sana, dengan adanya subsidi untuk EBT jadi ada proyek yang lebih menarik untuk hidrogen, Amerika lagi mendorong pemakaian itu,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (17/3/2023). 

Malahan, kata Arifin, sejumlah komitmen investasi pengembangan EBT di beberapa negara Eropa turut susut akibat Undang-Undang Penurunan Inflasi Amerika Serikat tersebut. 

“Itu yang menyebabkan investor banyak lari ke sana (Amerika Serikat),” kata dia. 

Sebelumnya, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus Asean Business Advisory Council (Asean-BAC) Arsjad Rasjid mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk berlaku adil dalam pemberian subsidi hijau bagi mineral kendaraan listrik. 

Arsjad menilai negatif sikap diskriminatif AS terhadap mineral kritis asal Indonesia yang tertuang pada paket subsidi untuk teknologi hijau. 

Adapun, pemerintah AS bakal menerbitkan pedoman kredit pajak bagi produsen baterai dan kendaraan listrik di bawah Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) beberapa pekan ke depan. 

Undang-Undang itu mencakup US$370 miliar subsidi untuk teknologi energi bersih. Namun, baterai yang mengandung komponen sumber Indonesia dikhawatirkan tetap tidak memenuhi syarat untuk kredit pajak IRA secara penuh.

Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan dominasi perusahaan China dalam industri hulu bijih nikel.  

“Kami berupaya memastikan memiliki portofolio inklusif, baik China maupun non-China dalam sektor pertambangan nikel guna mencapai kesepakatan perdagangan yang adil dan saling menguntungkan,” kata Arsjad seperti dikutip dari siaran resmi, Kamis (6/4/2023). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper