Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

ESDM Masih Kaji Permintaan PGAS terkait Harga Hulu US$4,72 per MMBTU

Kementerian ESDM belum memberi tanggapan ihwal permohonan PGAS terkait insentif harga hulu gas.
Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN
Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih mengkaji ihwal insentif harga khusus gas di sisi hulu pada level US$4,72 per MMBTU yang diminta PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) awal tahun ini. 

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan kementeriannya telah menerima permohonan perusahaan gas negara itu untuk dapat melanjutkan program pemasangan jaringan gas (jargas) selepas pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ditarik tahun ini. 

“Kita sudah mendapat penjelasan dari PGN bahwa mereka cukup berat dengan harga tidak disubsidi, tapi harga di hulu kan masih US$4,72 per MMBTU, kalau tidak dia akan berat melaksanakan itu,” kata Tutuka kepada Bisnis, Senin (3/4/2023). 

Tutuka menuturkan kementeriannya belum memberi tanggapan ihwal permohonan PGAS tersebut. Dia mengatakan masih terdapat sejumlah pertimbangan yang mesti dipelajari untuk menetapkan keputusan terkait dengan insentif harga hulu tersebut.

Hanya saja, dia menggarisbawahi, pemberian subsidi dalam jangka panjang relatif sulit untuk dilakukan pemerintah. “Kalau subsidi terus kan tidak mungkin, itu yang kita perhatikan kita belum sampai pada harga hulu begini tapi mereka sudah sampaikan,” tuturnya. 

Di sisi lain, dia berharap pemerintah bersama dengan PGAS sampai pada suatu kesepakatan pada sisi harga hulu gas tersebut untuk dapat melanjutkan pembangunan jargas di tengah masyarakat tahun ini.

Seperti diberitakan sebelumnya, PGAS tengah meminta persetujuan pemerintah untuk insentif harga hulu gas di level US$4,72 per MMBTU menyusul penugasan pembangunan fasilitas jargas mencapai 1 juta unit per tahun. 

Direktur Utama PGAS Muhammad Haryo mengatakan persetujuan harga gas hulu itu bakal membantu kelanjutan investasi perseroan untuk menjalankan penugasan pemerintah tersebut mendatang. 

“Kami masih berproses dalam meminta persetujuan pemerintah, yang apabila disetujui, PGN sebagai Subholding Gas Pertamina akan memiliki ruang lebih dalam mengembangkan jaringan gas,” kata Haryo kepada Bisnis, Rabu (15/3/2023).

Lewat persetujuan itu, lanjut Haryo, perseroan berharap ruang gerak yang lebih agresif untuk melakukan pemasangan jargas ke konsumen sektor kecil dan rumah tangga di kawasan yang belum terpasang. 

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pembangunan jargas ditargetkan mencapai 4 juta sambungan rumah (SR) baik melalui APBN, pembangunan mandiri oleh BUMN, dan skema KPBU. Khusus untuk KPBU, target pembangunan jargas  sebanyak 2,5 juta SR.

Jargas yang sudah dikelola saat ini mencapai 982.360 sambungan rumah tangga (SRT). Sebanyak 597.708 SRT berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan sisanya 384.708 SRT dari investasi PGAS.

Adapun, dengan investasi PGAS hanya mampu mencapai 400.000 SRT per tahunnya. Haryo lantas berharap sisa 600.000 SRT dapat dibantu oleh pemerintah melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) maupun kerja sama dengan pihak swasta.

Di sisi lain, PGAS sempat melaporkan adanya penurunan margin kotor atau gross profit margin yang signifikan imbas kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) 7 industri yang dipatok maksimal US$6 per MMBTU. 

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hingga 2021, penurunan margin kotor dari penjualan gas PGAS mencapai US$266 juta atau setara dengan Rp3,98 triliun, asumsi kurs Rp14.979.

“Penerapan HGBT mulai dari 2020 sampai 2024, kalau ini dilakukan semua dan kami sudah layani 100 persen pelayanan ada potensi gross margin di subholding gas sebesar US$784 juta [setara Rp11,74 triliun),” kata Haryo saat RDP dengan Komisi VII DPR, Jakarta, Selasa (31/1/2023). 

Adapun PGAS telah menyalurkan gas bumi kepada 65 kawasan industri atau setara dengan 52 persen dari total 126 kawasan industri yang beroperasi di Indonesia saat ini.

Sementara total niaga PGAS di kawasan industri itu mencapai 645 pelanggan dengan besaran gas mencapai 140 BBTUD saat ini. 

Sedangkan rata-rata penjualan gas di luar 7 industri penerima HGBT berada di kisaran US$8 hingga US$9 per MMBTU. Dengan demikian, terdapat selisih harga jual yang cukup signifikan dari harga keekonomian dengan HGBT yang dipatok US$6 per MMBTU kepada 7 industri penerima tersebut. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper