Bisnis.com, JAKARTA – Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir), dan Sawitku, Masa Depanku (Samade) akan melakukan aksi turun ke jalan untuk memprotes kebijakan deforestasi Uni Eropa (UE) yang merugikan petani sawit.
Nantinya, aksi ini akan berlangsung di dua titik lokasi demonstrasi, yaitu Kantor Kedutaan Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Kementerian Luar Negeri RI, dan diakhiri penyampaian surat petani sawit ke Istana Presiden pada Rabu (29/3/2023). Aksi ini akan didukung oleh anak petani sawit dan pekerja sawit yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Sawit Indonesia (Formasi).
Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung menjelaskan bahwa Apkasindo sudah membuka ruang dialog dengan delegasi UE. Tercatat, sudah lima kali pertemuan berlangsung dan sekali diantaranya dilakukan di Riau. Namun, dialog tersebut tidak membuahkan hasil yang menggugah hati delegasi UE mengenai nasib petani kecil pascaimplementasi Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa.
“Dari beberapa kali pertemuan tersebut yang paling membuat petani sawit sesak nafas adalah pertemuan terakhir yang difasilitasi oleh Kemenko Perekonomian pada 6 Maret kemarin. Dalam pertemuan tersebut, delegasi UE kurang lebih mengatakan ‘silahkan patuh kepada regulasi Eropa, maka pasar sawit akan dibuka’. Ini artinya kalau tidak patuh ya jangan masuk ke Eropa,” kata Gulat melalui keterangan tertulis, Senin (27/3/2023).
Menurut Gulat, apabila regulasi Uni Eropa itu masuk akal, tentu petani tidak berkeberatan dan petani sawit akan mendukung. Petani sawit menilai UU Deforestasi Uni Eropa sangat memojokkan sawit sebagai sumber pendapatan keluarga petani dan masa depan petani.
Dia menuturkan, Uni Eropa yang terdiri dari 27 negara bukanlah importir nomor satu minyak sawit Indonesia, melainkan di posisi keempat atau kelima. China dan India merupakan pangsa pasar terbesar ekspor minyak sawit nasional. Ekspor CPO kedua negara tersebut mencapai 29 persen dari total nilai ekspor sawit Indonesia.
Baca Juga
“Namun, mendiskreditkan sawit sebagai sumber penghidupan kami 17 juta petani sawit dan pekerja sawit sudah merupakan pelanggaran HAM dengan modus deforestasi. Anehnya, meskipun UE sibuk mendiskreditkan minyak sawit, tapi impor 27 negara Uni Eropa tetap stabil sekitar 4 juta sampai 5 juta ton per tahun,” urainya.
Gulat menceritakan bahwa dalam sejumlah dialog awal, tim delegasi UE masih mencoba meyakinkan bahwa kebijakan deforestasi tidak akan menyakiti petani kecil. Namun, petani meragukan hal tersebut usai melakukan dialog pada 6 Maret 2023.
“Saat Dubes UE dan rombongannya bersilaturahmi ke kantor Pusat DPP Apkasindo (10/2) dialog keterbukaan masih berjalan dan kami mencoba mempelajari pasal demi pasal dalam regulasi deforestasi tersebut. Di pertemuan terakhir pada 6 Maret yang difasilitasi Kemenko Perekonomian dalam diskusi terbatas membuat putus harapan petani sawit,” jelasnya.
Dalam kajian Apkasindo, dampak aturan deforestasi Uni Eropa ini akan turun menekan harga tandan buah segar (TBS) petani. Apalagi, saat ini harga TBS sudah anjlok dari Rp2.950/kg menjadi Rp2.100/kg.
“Ekspor sawit ke Eropa berpotensi terhambat karena wajib menunjukkan sertifikasi bebas deforestasi dan ketelusuran lainnya merupakan suatu hal yang sangat memberatkan petani kecil. Kewajiban ini mustahil bisa dipenuhi petani lantaran butuh lembaga sertifikasi internasional dan berbiaya mahal. Jadi ketelusuran TBS petani harus terpetakan melalui by name, by address, dan by coordinate,” ucap Gulat.
Menurutnya, UE mungkin lupa dari 16,38 juta hektare sawit di Indonesia sekitar 42 persennya (6,87 juta ha) di bawah pengelolaan petani kecil yang merupakan sasaran empuk dari berbagai regulasi yang diterapkan tentang hulu-hilir sawit, seperti aturan EU Deforestasi ini.
“Kami minta keadilan dan saya yakin, warga masyarakat UE pasti tidak setuju jika dampak regulasi EUDR ini justru memberatkan petani sawit dan ini mengancam masa depan kami petani sawit,” tegasnya.