Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebijakan Deforestasi, Eropa Tutup Ruang Negosiasi Terhadap Sawit RI

Uni Eropa menyatakan bahwa kebijakan deforestasi terhadap komoditas perkebunan dan pertanian impor tidak bisa diganggu gugat
Kelapa sawit ditumpuk di atas sebuah truk di Penajam, Kalimantan Timur, Rabu (27/11/2019)./Bloomberg-Dimas Ardian
Kelapa sawit ditumpuk di atas sebuah truk di Penajam, Kalimantan Timur, Rabu (27/11/2019)./Bloomberg-Dimas Ardian

Bisnis.com, JAKARTA - Uni Eropa tetap bersikukuh untuk mempertahankan regulasi Deforestation-free Commodities (DR) yang mulai diterapkan sejak Desember 2022. Melalui kebijakan tersebut, Eropa mewajibkan komoditas perkebunan dan pertanian yang masuk dari negara lain bebas dari praktik deforestasi.

Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) Gulat Manurung mengungkapkan, rapat terbatas di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) yang diinisiasi delegasi Uni Eropa pada Rabu (15/3/2023), tidak menghasilkan banyak manfaat. Pasalnya, delegasi Uni Eropa sangat yakin bahwa keputusan mereka final alias tidak bisa diganggu gugat.

“Saya melihat mereka tidak mundur sejengkal pun dan hal ini tampak dari pernyataan salah seorang delegasi Uni Eropa yang mengatakan ‘tidak ada negosiasi terkait Uni Eropa Deforestation-free Commodities, dan jika patuh, kami akan membuka pasar kami,” kata Gulat kepada Bisnis, Kamis (16/3/2023).

Dalam pertemuan tersebut, Gulat menyebut tak banyak hal-hal baru yang dihasilkan. Sebab, pertemuan itu hanya mengulang apa yang sudah disampaikan Dubes Uni Eropa Vincent Piket ketika berkunjung ke kantor pusat DPP Apkasindo pada Februari lalu.

Dia menjelaskan, pihaknya sudah menyampaikan kerugian dan konsekuensi dari regulasi itu kepada 17 juta petani sawit dan pekerja sawit di Indonesia, serta kepada 27 negara anggota Uni Eropa. Belum lagi, dengan efek rambatan yang ditimbulkan.

Namun, delegasi Uni Eropa tetap teguh dengan ‘kebaikan’ regulasi yang mereka buat.

“Kerugian ini cenderung lebih berat ke negara anggota Uni Eropa karena mereka makin sulit mendapatkan minyak nabati dari sawit yang relatif lebih terjangkau dan ini akan berdampak ke perekonomian masyarakat Uni Eropa,” ungkapnya.

Indikator tersebut bisa dilihat pada saat Indonesia melarang ekspor minyak sawit pada April 2022 lalu, di mana negara-negara mereka cukup kerepotan dengan diberlakukannya aturan larangan ekspor itu. 

Di sisi lain, para petani sawit sangat tersinggung dengan pasal ‘high risk’ atau berisiko tinggi dalam DR. Pasalnya, jelas dia, petani sawit sudah sekuat tenaga untuk menjaga keseimbangan tiga dimensi keberlanjutan, yakni dimensi ekonomi, dimensi sosial, dan dimensi lingkungan.

Sayangnya, Uni Eropa tidak menghargai hal itu dan pemerintah sudah menjawab dengan anti-deforestasi melalui PSR (intensifikasi) dan memberlakukan secara progresif ISPO. 

“Jadi regulasi tersebut adalah antitesis dari upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia tentang keberlanjutan sawit. Prinsipnya adalah tidak boleh satu dimensi meniadakan dimensi lain, dalam konteks ini Uni Eropa sudah mengesampingkan dimensi ekonomi dan sosial,” pungkasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper