Bisnis.com, JAKARTA - Disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang oleh DPR RI pada Selasa (21/3/2023) mendapat penolakan keras dari serikat buruh.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal kembali menyoroti sembilan poin yang tertuang dalam Perppu Cipta Kerja.
“Sikap partai buruh dan organisasi serikat buruh ada menolak omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR RI. Ada sembilan poin yang menjadi catatan kami, yang kami ulang kembali,” kata Said, dikutip Kamis (23/3/2023).
Pertama, terkait upah minimum yang kembali pada konsep upah murah. Kedua, outsourcing atau alih daya seumur hidup di mana, kata Said, tidak ada batasan jenis pekerjaan dan bahkan negara menempatkan dirinya sebagai agen outsourcing.
Ketiga, terkait kontrak yang berulang-ulang. “Tentang kontrak yang berulang-ulang, bisa 100 kali kontrak, itu yang dimaksud dengan kontrak seumur hidup karena dikontrak terus. Walaupun ada batasan 5 tahun itu pun kalau kontraknya berkesinambungan, tapi kalau diputus-putus, akhirnya seumur hidup juga,” jelasnya.
Keempat, terkait pesangon yang dinilai murah dan kelima, mengenai pemutusan hubungan kerja atau PHK yang dipermudah.
Baca Juga
Selanjutnya, pengaturan jam kerja dan pengaturan cuti. Terkait pengaturan cuti, Said yang juga merupakan Presiden KSPI itu menilai, tidak ada kepastian upah bagi buruh perempuan yang akan mengambil cuti haid atau melahirkan.
Lalu, terkait tenaga kerja asing atau TKA. Para buruh menolak aturan mengenai TKA yang termuat dalam Perppu Cipta Kerja, di mana para pekerja asing dapat bekerja dahulu sembari menunggu administrasi. Aturan ini disebut dapat mempersempit lapangan kerja bagi pekerja dalam negeri lantaran diambil alih oleh pekerja asing.
“Ini yang membuat buruh kasar terutama buruh kasar China bekerja di semua sektor industri. Dan konflik horizontal penyebabnya itu, ketidakpuasan buruh lokal yang pekerjaannya diambil alih oleh pekerja asing, dari China terutama,” ungkapnya.
Poin terakhir yang menjadi sorotan adalah dihapusnya beberapa sanksi pidana, yang sebelumnya tercantum dalam UU No.13/2003.
Partai buruh sebelumnya sudah menyoroti sembilan poin tersebut pada Januari lalu, atau tepatnya saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Perppu No.2/2022 tentang Cipta Kerja tertanggal 30 Desember 2022.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, penerbitan Perppu Cipta kerja bersifat mendesak, mengingat perekonomian Indonesia akan menghadapi ancaman resesi global dan ketidakpastian yang tinggi.
“Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi, kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” kata Airlangga pada akhir tahun lalu.
Terbaru, aturan tersebut sudah disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (21/3/2023).
“Kami akan menanyakan kepada setiap fraksi apakah Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” ujar Ketua DPR Puan Maharani diikuti persetujuan anggota parlemen dan ketukan palu.