Bisnis.com, JAKARTA – Credit Suisse Gorup AG mengambil langkah cepat dengan menarik pinjaman senilai US$54 miliar atau Rp833 triliun dari Bank Sentral Swiss setelah sahamnya anjlok hingga 30 persen pada Rabu (15/3/2023).
Dilansir dari Reuters, merosotnya saham Credit Suisse telah mengalihkan fokus investor dan regulator dari Amerika Serikat ke Eropa, di mana saham bank asal Swiss tersebut memimpin aksi jual saham-saham bank setelah investor terbesarnya mengatakan tidak dapat memberikan lebih banyak bantuan keuangan karena kendala regulasi.
Para investor mulai khawatir terhadap tentang krisis deposito bank yang lebih luas, yang dipicu runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank pada pekan lalu. Sementara itu, FINMA dan Bank Sentral Swiss mengatakan tidak ada indikasi risiko langsung penularan untuk institusi Swiss dari gejolak pasar perbankan AS.
Untuk meredam kekhawatiran tersebut, dalam pernyataannya Kamis pagi, Credit Suisse mengatakan sedang menggunakan fasilitas bantuan likuiditas dari Swiss National Bank (SNB) senilai US$54 miliar.
regulator keuangan Swiss FINMA dan Swiss National Bank (SNB) mengatakan bahwa Credit Suisse dapat mengakses likuiditas dari bank sentral jika diperlukan.
“Credit Suisse memenuhi persyaratan modal dan likuiditas yang dibebankan kepada bank-bank yang secara sistemik penting,” demikian menurut pernyataan FINMA dan SNB, dikutip Kamis (16/3/2023).
Baca Juga
Pernyataan tersebut diungkapkan guna meredakan kekhawatiran para investor mengenai Credit Suisse akibat bangkrutnya Silicon Valley Bank pekan lalu. Hal ini dilakukan setelah adanya tekanan terhadap pemerintah Swiss untuk bertindak.
“Credit Suisse memenuhi persyaratan modal dan likuiditas yang dibebankan kepada bank-bank yang secara sistemik penting,” demikian menurut pernyataan FINMA dan SNB.
Credit Suisse akan menjadi bank global besar pertama yang diberikan bantuan sejak krisis keuangan 2008, meskipun bank sentral telah memperluas likuiditas secara lebih umum ke bank selama masa tekanan pasar termasuk pandemi Covid-19.
Keluarnya investor memicu kekhawatiran akan ancaman yang lebih luas terhadap sistem keuangan, dan dua sumber pengawas mengatakan kepada Reuters bahwa Bank Sentral Eropa telah menghubungi bank-bank dalam pengawasannya untuk menanyakan mereka tentang eksposur mereka ke Credit Suisse.
Juru Bicara Departemen Keuangan AS juga mengatakan sedang memantau situasi di sekitar Credit Suisse dan berhubungan dengan mitra global.
Bangkrutnya SVP minggu lalu, diikuti oleh Signature Bank dua hari kemudian, membuat saham-saham bank global mengalami volatilitas yang tinggi pada minggu ini. Para investor mengabaikan jaminan dari Presiden AS Joe Biden dan langkah darurat yang memberi bank akses ke lebih banyak pendanaan.
Cari Aman
Menurut sumber yang tidak ingin diungkap identitasnya, di Amerika Serikat, bank-bank besar telah mengelola eksposur mereka terhadap Credit Suisse dalam beberapa bulan terakhir dan melihat risiko yang berasal dari bank tersebut sejauh ini dapat dikelola.
Kenaikan suku bunga yang cepat telah mempersulit beberapa bisnis untuk membayar kembali atau memberikan pinjaman, meningkatkan kemungkinan kerugian bagi pemberi pinjaman yang juga khawatir akan resesi.
Para pelaku pasar sekarang bertaruh bahwa The Fed, yang minggu lalu diperkirakan akan mempercepat kenaikan suku bunganya dalam menghadapi inflasi yang terus-menerus, mungkin terpaksa berhenti sejenak dan bahkan berbalik arah.
Proyeksi pada Bank Sentral Eropa yang akan menaikkan suku bunga besar pada pertemuan Kamis pun sirna dengan cepat karena anjloknya Credit Suisse dan menghilangkan kekhawatiran tentang kesehatan sektor perbankan Eropa.
Pelaku pasar sekarang memperkirakan peluang kenaikan suku bunga 50 basis poin pada pertemuan ECB hanya sebesar 20 persen..
CEO bank pesaing Credit Suisse, UBS, Ralph Hammers mengatakan gejolak pasar tersebut telah membuat lebih banyak uang masuk ke perusahaannya. Adapun CEO Deutsche Bank Christian Sewing mengatakan bahwa pihaknya telah mencatat lebih banyak simpanan yang masuk.