Bisnis.com, JAKARTA - Credit Suisse kembali dilanda gejolak. Bank berusia 166 tahun yang pernah menjadi lambang kebanggaan Swiss ini tengah berjuang untuk bertahan setelah para investor melepas sahamnya hingga anjlok ke level terendah sepanjang masa.
Saham Credit Suisse Group AG ditutup melemah 24 persen pada perdagangan Rabu (15/3/2023), setelah sempat anjlok 31 persen ke level terendah sepanjang masa.
Dilansir dari New York Times pada Kamis (16/3), pemicu anjloknya saham Credit Suisse adalah komentar dari Ammar al-Khudairy, Chairman Saudi National Bank, pemegang saham terbesar bank tersebut.
Dalam wawancara dengan Bloomberg TV, Ammar mengatakan Saudi National Bank tidak akan meningkatkan sahamnya melebihi level saat ini yakni 9,9 persen karena masalah regulasi.
“Jawabannya sama sekali tidak, karena banyak alasan di luar alasan yang paling sederhana, yaitu regulasi dan undang-undang,” ungkap Ammar.
Pernyataan ini membuat kepanikan di investor karena khawatir Credit Suisse akan kehabisan pendanaan di tengah gejolak di sektor finansial.
Baca Juga
Reaksi spontan ini merupakan bukti lebih lanjut mengenai betapa paniknya para investor terhadap stabilitas sistem keuangan global setelah kebangkrutan Silicon Valley Bank pekan lalu. Keruntuhan bank ini menyadarkan para investor dan deposan akan potensi risiko yang dapat mengancam bank-bank lain, baik di Amerika Serikat maupun secara global.
Namun, masalah di Credit Suisse adalah masalah yang terpisah dan sebagian besar disebabkan oleh masalahnya sendiri. Pada hari Selasa (14/3), Credit Suisse mengatakan bahwa mereka telah mengidentifikasi kelemahan material yang terkait dengan laporan keuangannya.
Tidak seperti SVB, Credit Suisse dianggap sebagai lembaga keuangan global yang penting secara sistemik, dengan aset sebesar US$569 miliar pada akhir tahun lalu dan persyaratan modal yang sangat ketat.
Analis riset Morningstar Johann Scholtz mengatakan tidak ada tanda-tanda kelemahan di neraca keuangan bank ini, dan Credit Suisse memiliki puluhan miliar dolar uang tunai yang disimpan di bank-bank sentral di seluruh dunia yang dapat digunakan, kata.
Namun biaya untuk mendanai operasional bank ini telah melonjak secara signifikan dalam beberapa minggu terakhir.
Bank-bank sering meminjam satu sama lain dalam dalam sistem pasar pinjaman overnight. Biaya pendanaan tersebut sebagian dipengaruhi oleh harga sebuah instrumen yang dikenal sebagai credit default swap (CDS).
Pada dasarnya, CDS merupakan sebuah bentuk asuransi yang dibeli oleh satu pihak untuk melindungi dari kemungkinan bahwa pihak lain akan gagal bayar. Semakin tinggi risiko gagal bayar, semakin tinggi harga CDS, dan semakin tinggi pula biaya pendanaan.
Mengingat tekanan terhadap Credit Suisse, bahaya gagal bayar mendorong bank-bank dan pihak-pihak lain yang berbisnis dengan Credit Suisse untuk membeli lebih banyak CDS untuk menutupi peningkatan risiko mereka.
Ketika harga CDS Credit Suisse naik sepanjang hari perdagangan Rabu, kemungkinan bahwa bank tersebut harus membayar lebih banyak di pasar overnight untuk mendanai dirinya sendiri juga meningkat.
"Kami telah melewati titik di mana mereka tidak dapat melakukan apa-apa," kata Scholtz.
Gejolak yang dialami Credit Suisse membuat bank sentral Swiss turun tangan. Swiss National Bank mengatakan akan memberikan bantuan likuiditas kepada Credit Suisse.
Dilansir dari Reuters, dalam sebuah pernyataan bersama, regulator keuangan Swiss FINMA dan Swiss National Bank (SNB) mengatakan bahwa Credit Suisse dapat mengakses likuiditas dari bank sentral jika diperlukan.
“Credit Suisse memenuhi persyaratan modal dan likuiditas yang dibebankan kepada bank-bank yang secara sistemik penting,” demikian menurut pernyataan FINMA dan SNB, dikutip Kamis (16/3/2023).
Pernyataan tersebut diungkapkan guna meredakan kekhawatiran para investor mengenai Credit Suisse akibat bangkrutnya Silicon Valley Bank pekan lalu. Hal ini dilakukan setelah adanya tekanan terhadap pemerintah Swiss untuk bertindak.