Bisnis.com, JAKARTA – Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) menuturkan alasan produk furnitur dalam negeri sulit untuk tembus pasar Eropa.
Presidium HIMKI Abdul Sobur mengatakan industri furnitur dan kerajinan Indonesia masih terbentur sederet persyaratan untuk bisa memasarkan produk di pasar Eropa, padahal Indonesia sudah memiliki Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu Indonesia (SVLK). Hal itu yang menghambat ekspor furnitur ke Uni Eropa.
"Ketika kami menembus ke pasar Eropa, kami harus mengikuti kaidah FSC [Forest Stewardship Council]. Harus betul-betul didapat dengan cara yang baik, dari hutan yang pohonnya ditanam, bukan liar. Ini yang menjadi pekerjaan rumah kami," kata Abdul saat konferensi pers penutupan pameran Indonesia International Furniture Expo (IFEX), Minggu (12/3/2023).
Padahal, tuturnya, Indonesia memiliki sertifikasi sendiri bernama SVLK atau sistem verifikasi dan legalitas kayu yang berfungsi untuk memastikan bahan baku produk furnitur mempunyai kualitas yang baik, terutama bukan dari kayu hasil tanaman liar di hutan Indonesia.
Hal itulah yang menurut Abdul, akan diperjuangkan oleh HIMKI dan sederet pihak terkait, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup, agar SVLK bisa dianggap sejajar dengan FSC. Dengan demikian, jalan ekspor ke Eropa kembali dapat mendulang cuan.
Terlebih, Abdul mengklaim Indonesia merupakan negara ketiga terbesar penghasil bahan baku di dunia. Abdul menjelaskan hutan tropis Indonesia membuat pohon tumbuh lebih cepat berkali lipat dibandingkan negara lain.
Baca Juga
Misalnya, jika negara lain membutuhkan waktu 60 sampai 80 tahun untuk menumbuhkan kayu berdiameter 40 centimeter, Abdul berujar di Indonesia kayu dengan ukuran yang sama bisa tumbuh hanya dalam lima tahun. Kondisi itu terjadi untuk kayu jati, mahoni, mindi, hingga pinus.
Namun, hal ini tidak membuat produk Indonesia bisa lolos ke pasar Eropa tanpa dicegat oleh FSC. Lantaran, menurutnya, pemerintah dan masyarakat Eropa lebih mempercayai FSC. Ditambah standar tersebut telah berlaku jauh lebih dahulu dari SVLK di Indonesia.
Senada dengan Abdul, sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, Uni Eropa memiliki syarat yang ketat terkait ketelusuran atau traceability bahan baku produk furnitur.
Bahkan dalam hal ini, Eropa kerap kali meragukan sumber bahan baku produk furnitur Indonesia, dari kayu tanam atau justru kayu dari hutan ilegal.
Dengan demikian, Airlangga meminta kepada Menteri Perindustrian dan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan untuk mengurus persoalan ini. Dia juga memerintahkan agar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang bisa mempercepat proses verifikasi kayu milik pelaku usaha di Tanah Air tanpa membebankan biaya.
Dia kemudian menyarankan agar biaya pengurusan SVLK ditanggung oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). "Terutama untuk UMKM, anggarannya di KLHK," kata dia di Kawasan Kemayoran, Kamis, (9/3/2023).