Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas keuangan Amerika Serikat (AS) segera menyita aset Silicon Valley Bank (SVB) pada hari Jumat (10/3/2023) setelah mengumumkan SVB bangkrut.
Silicon Valley merupakan bank terbesar ke-16 di negara itu, bangkrut setelah deposan, yang sebagian besar perusahaan teknologi dan perusahaan yang didukung modal ventura, bergegas menarik uang mereka minggu ini karena khawatir atas efek domino kondisi bank.
Dilansir dari Reuters pada Minggu (12/3/2023), masalah di Silicon Valley Bank sebagian berasal dari kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve (The Fed) selama setahun terakhir. Ketika suku bunga mendekati nol, bank memuat obligasi atau surat utang jangka panjang yang memiliki risiko rendah.
Ketika the Fed menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi, nilai aset tersebut jatuh, membuat bank rugi.
Sebagaimana diketahui, suku bunga tinggi memukul banyak perusahaan teknologi dengan sangat keras, mengurangi nilai saham dan membuatnya sulit untuk mengumpulkan dana. Hal Itu mendorong banyak perusahaan teknologi untuk menarik simpanan yang dipegang di SVB untuk mendanai operasi mereka.
Kebangkrutan SVB terjadi sangat cepat. Bank besar ini sebelumnya masih tampak stabil pada awal tahun. Akan tetapi, secara tiba-tiba SVB mengumumkan renaca penggalangan dana senilai US$1,75 miliar atau sekitar Rp27,13 triliun untuk memperkuat modal.
Baca Juga
Aksi tersebut sontak membuat investor khawatir dan harga saham secara drastis anjlok 60 persen. Saham-saham setara kembali turun pada Jumat sebelum pembukaan perdagangan di bursa Nasdaq.
Mengetahui hal tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) AS Janet Yellen segera turun tangan guna mengatasi masalah bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB), yang dikhawatirkan berdampak sistemik ke industri keuangan dan startup.
Menkeu memanggil beberapa regulator sektor keuangan untuk membahas situasi tersebut, mengingatkan mereka bahwa dia memiliki kepercayaan penuh pada kemampuan mereka untuk mengambil tindakan yang tepat dan bahwa sektor perbankan tetap tangguh.