Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah 'Ngerem' Belanja pada APBN 2024, Apa Dampaknya?

Ekonom CORE dan Bank Permata mengungkapkan alasan pemerintah cenderung ngerem atau melakukan belanja secara moderat pada APBN 2024.
Pekerja menyelesaikan proyek Jalan Tol Cibitung - Cilincing (JTCC) Seksi 4 di Jakarta, Rabu (22/2/2023). Bisnis/Suselo Jati
Pekerja menyelesaikan proyek Jalan Tol Cibitung - Cilincing (JTCC) Seksi 4 di Jakarta, Rabu (22/2/2023). Bisnis/Suselo Jati

Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan dalam tahun transisi  pada APBN 2024, belanja pemerintah akan cenderung moderat atau terjadi pengetatan karena perubahan fokus pemerintah. 

Asumsinya, kata Yusuf, beragam program belanja yang selama ini menjadi ciri khas pemerintahan, seperti infrastruktur, kalaupun masih ada pada 2024 nanti, akan bersifaf lebih kecil.

Menurutnya, pemerintah akan berfokus pada pos belanja yang sifatnya reguler, seperti belanja bantuan sosial, subsidi, dan juga belanja pegawai.

“Karenanya, kalau kami perhatikan dari target belanja pertumbuhannya itu relatif moderat seperti yang disampaikan dalam KEM PPKF 2024,” ujarnya, Senin (6/3/2023). 

Berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2024, target penerimaan perpajakan pada tahun depan berada di kisaran Rp2.275,3 triliun—Rp2.335,1 triliun, naik sebesar 12,57 persen - 15,53 persen dibandingkan dengan target pada 2023 senilai Rp2.021,2 triliun.

Menurut Yusuf, masih terdapat pos belanja yang sifatnya tematik dan bisa dijalankan pemerintah saat ini dan dilanjutkan oleh pemerintahan tahun berikutnya, misalnya belanja yang dikhususkan untuk mengatasi efek samping dari pandemi Covid-19. 

“Tentu belanja tematik ini pendekatannya banyak bisa dari bansos, subsidi, dan beragam pos belanja lainnya yang saya kira karena ini sifatnya keberlanjutan, pos belanja dari pandemi masih bisa secara politik diterima oleh pemerintahan baru nanti,” tambahnya. 

Sementara itu dari sisi perbankan, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat kebijakan pemerintah dalam melakukan pengetatan belanja sebagai upaya pemerintah untuk menekan defisit belanja pemerintah dengan harapan utang pemerintah cenderung menurun. 

Menengok pada masa pandemi 2020-2021, defisit pemerintah tercatat sangat tinggi sebagai wujud kompensasi bantuan selama pandemi serta keringanan pajak untuk para pelaku usaha. Josua menyampaikan dari hal ini kemudian mendorong kenaikan beban utang pemerintah hingga 39,57 persen dari PDB pada akhir 2022. 

Dalam rangka mengurangi beban tersebut, dan melakukan stabilisasi keuangan di masa depan, pemerintah mendorong penurunan beban defisit pada 2024. Hal ini juga bersamaan dengan potensi penurunan harga komoditas global, sehingga windfall pajak diperkirakan cenderung berkurang ke depannya. 

“Dari sisi perbankan, penurunan defisit pemerintah di satu sisi dapat mendorong penurunan yield SBN, sehingga portfolio perbankan dari sisi NFI akan cenderung positif,” kata Josua, Senin (6/3/2023). 

Lebih lanjut, konsekuensi lainnya dari rendahnya defisit pemerintah di antaranya adalah penurunan potensi government multiplier, sehingga kenaikan pertumbuhan ekonomi cenderung lebih terbatas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper