Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengkritisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan pendekatan metode Omnibus Law yang telah disetujui menjadi RUU Inisiatif DPR RI pada 14 Februari 2023 lalu.
Apindo khawatir pelayanan kesehatan bagi pekerja sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terancam kualitasnya akibat sejumlah pengaturan dalam RUU.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, dalam RUU itu, BPJS Kesehatan akan diwajibkan untuk menerima kerja sama yang diajukan fasilitas kesehatan (faskes) yang telah memenuhi perizinan sesuai undang-undang yang berlaku. Menurutnya, hal itu bertentangan dengan prinsip sukarela kerja sama BPJS Kesehatan dengan faskes (Pasal 23 UU SJSN) sehingga membatasi BPJS untuk melakukan seleksi atas faskes yang memenuhi syarat pelayanan.
“Akibatnya potensial terjadi faskes tidak dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik bagi peserta karena terjebak dalam birokrasi pemerintahan,” ujar Hariyadi dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Hariyadi juga mencermati substansi RUU Kesehatan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur pelayanan kesehatan pekerja pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dia memerinci, Pasal 423 RUU menyebutkan bahwa RUU Kesehatan mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan beberapa pengaturan baru yang diatur dalam UU SJSN Nomor 40/2004, dan UU BPJS Nomor 24/2011 yang dijabarkan dalam pasal 424 dan 425.
“Dunia usaha juga melihat biaya penyelenggaraan BPJS Kesehatan potensial meningkat yang dapat berujung pada kenaikan iuran peserta yang akan membebani pekerja dan pemberi kerja,” lanjutnya.
Baca Juga
Hal ini disebabkan tugas BPJS Kesehatan yang pada dasarnya untuk pelayanan yang bersifat promotif, kuratif dan rehabilitatif juga harus melaksanakan penugasan-penugasan lainnya dari kementerian yang membidangi kesehatan, sementara dalam Pasal 13 UU BPJS tidak terdapat pengaturan tersebut.
“Penugasan dari kementerian yang bukan merupakan tugas BPJS Kesehatan potensial membebani dana jaminan sosial BPJS,” ungkap Hariyadi.
Menurutnya, dana jaminan sosial (DJS) yang merupakan milik peserta dapat tergerus untuk melaksanakan tugas-tugas kementerian yang semestinya dibiayai dari sumber APBN. Akibatnya, peserta yang harus menanggung biaya tugas tersebut melalui iuran yang dibayarkannya.
Hal ini bertentangan dengan salah satu dari sembilan prinsip SJSN dalam mengelola dana amanat, yaitu bahwa DJS yang merupakan dana yang terkumpul dari iuran peserta dan merupakan dana titipan kepada BPJS yang perlu dikelola dan harus digunakan untuk sebesar besarnya kepentingan peserta.
“Hal lain yang akan potensial membebani DJS antaranya terkait pelayanan kesehatan rawat inap tanpa batas yang memberikan beban berlebihan terhadap DJS. Pelayanan kesehatan rawat inap seyogianya berpatokan pada penanganan yang wajar terkait indikasi medis dan standar pelayanan medis pra dan paska rawat jalan,” ujar Hariyadi.
Di samping itu, kata dia, cakupan pelayanan yang diperluas untuk penanganan medis peserta korban kekerasan dan kecelakaan tunggal juga akan membebani DJS, yang semestinya diatasi oleh program dari institusi lain dengan sumber APBN.