Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia diprediksi memiliki jumlah pengangguran terbanyak nomor 2 di Asia Tenggara pada 2023.
Ketidakpastian ekonomi akibat pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, lonjakan inflasi, hingga suku bunga tinggi melanda dunia pada 2023. Hal tersebut bisa mempengaruhi tingkat pengangguran, termasuk di negara-negara Asia Tenggara.
Dilansir dari dataindonesia.id,Sabtu (25/2/2023), Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, Filipina menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki tingkat pengangguran tertinggi pada 2023. Persentasenya diproyeksikan mencapai 5,4 persen pada tahun ini.
Indonesia menyusul di urutan kedua dengan proyeksi tingkat pengangguran sebesar 5,3 persen. Kemudian, tingkat pengangguran di Malaysia diperkirakan sebesar 4,3 persen.
IMF juga memperkirakan tingkat pengangguran di Vietnam sebesar 2,3 persen pada tahun ini. Setelahnya ada Singapura dengan tingkat pengangguran sebesar 2,1 persen.
Sementara, Thailand diprediksi memiliki tingkat pengangguran sebesar 1 persen. Persentase tersebut menjadi yang terendah di antara negara Asia Tenggara lainnya.
Baca Juga
Adapun berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,42 juta orang pada Agustus 2022. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan pada Februari 2022 yang sebanyak 8,40 juta orang.
Namun, jika dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya, jumlah pengangguran di Indonesia tercatat menurun. Pada Agustus 2021, jumlah pengangguran di Indonesia sebanyak 9,1 juta orang.
Jika dibandingkan dengan total angkatan kerja yang sebanyak 143,72 juta orang, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia terpantau sebesar 5,86 persen pada Agustus 2022.
Berdasarkan catatan Bisnis.com, Jumat (24/2/2023), Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani menyebut, salah satu permasalahan yang paling muncul adalah digitalisasi, yang disebabkan berkurangnya penyerapan angkatan kerja dan sebabkan tingginya angka pengangguran.
“Digitalisasi ini sangat berpengaruh dari segi bonus demografi,” kata Shinta kepada wartawan beberapa waktu yang lalu.
Menurut Shinta, digitalisasi ini berperan banyak dalam banyaknya industri yang mulai menggunakan berbagai mesin berteknologi maju turut mengikis jumlah angkatan kerja yang terserap lapangan pekerjaan.
“Karena sekarang kita masuk era digitalisasi otomatisasi dan lain-lain kebutuhan tenaga kerja juga berkurang,” tambahnya.
Permasalahan kedua yang menyebabkan banyaknya pengangguran menurut Shinta adalah ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan angkatan kerja dengan jenis pekerjaan yang tersedia di lapangan kerja.