Bisnis.com, JAKARTA - KSP Indosurya menegaskan bahwa pihaknya akan bertanggung jawab kepada 6.000 anggotanya yang menjadi korban gagal bayar dengan nilai kerugian kurang lebih sekitar Rp16 triliun
Pernyataan tersebut disampaikan salah satu perwakilan pengurus KSP Indosurya, Mila Pertiwi, menanggapi informasi yang beredar bahwa korban KSP Indosurya mencapai 23.000 orang dengan nilai kerugian mencapai Rp106 triliun.
“Kami mewakili pengurus ingin meluruskan berita mengenai kewajiban yang harus dibayar koperasi itu sebenarnya bukan Rp106 triliun ya, tapi Rp16 triliun sesuai yang sudah disidangkan di persidangan. Kemudian jumlah anggotanya bukan 23.000 tapi 6.000-an sesuai yang mendaftar di PKPU [Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang],” kata Mila dalam press briefing Indosurya di Jakarta Selatan, Jumat (17/2/2023).
Dia menyebut data yang disampaikan ini berdasarkan audit forensik yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dijelaskan Penasihat Hukum KSP Indosurya, Waldus Situmorang, simpanan dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, dari dana yang sudah terhimpun sebanyak Rp36 triliun, KSP Indosurya sudah mengembalikan kepada anggota sebanyak Rp30 triliun.
Kemudian, kelompok kedua, dari dana sebesar Rp25 triliun, sebanyak Rp15 triliun sudah dikembalikan ke anggota sehingga total kerugian yang masih perlu dibayar adalah Rp16 triliun.
“Maka itu lahir angka di persidangan sebanyak Rp16 triliun. Angka ini dari mana? Hasil audit forensik, jadi berbeda sekali dengan angka awal Rp106 triliun,” jelas Waldus.
Diberitakan sebelumnya, KSP Indosurya Cipta disebut-sebut merugikan 23.000 nasabah dengan nilai total kerugian mencapai Rp106 triliun.
Kasus tersebut menyeret nama Henry Surya selaku bos KSP Indosurya ke meja hijau dan dituntut 20 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan denda Rp200 miliar subsider satu tahun kurungan.
Namun, Henry dibebaskan dari masa tahanan. Hakim Ketua menyatakan bahwa dakwaan yang dilayangkan kepada terdakwa Henry terbukti, tapi bukan dalam ranah pidana, melainkan ranah perdata.
“Dinyatakan perkara bukan merupakan pidana melainkan tetapi perdata,” kata Hakim Ketua dalam amar putusannya yang dibacakan di PN Jakarta Barat, Selasa (24/1/2023).