Bisnis.com, JAKARTA - Permasalahan pangan saat ini tidak lepas dari isu lingkungan, sosial-ekonomi, dan politik yang berkembang, mulai dari pencemaran hingga geopolitik mendorong ketidakstabilan ekosistem yang berdampak serius terhadap perekonomian.
Pascapandemi virus Covid-19 yang baru saja terjadi makin memberikan sinyal peringatan yang jelas bahwa ketidakstabilan ekosistem harus menjadi skala prioritas tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga pelaku industri dan masyarakat dalam membangun swasembada pangan.
Pendekatan food estate yang diajukan dalam upaya membangun ketahanan pangan diyakini mampu memenuhi kebutuhan pertumbuhan penduduk secara linier sekaligus menjadi model keekonomian pasar yang berkelanjutan.
Namun, tingkat kegagalan transformasi food estate sangatlah tinggi karena harus mampu mendorong aktivitas ekonomi lokal setempat secara simultan dan efektif.
Regulasi yang ketat, pedoman yang lengkap, dan besaran insentif bukanlah menjadi kunci keberhasilan berjalannya keekonomian pasar yang berlandaskan ketahanan pangan dan kepedulian lingkungan. Pemahaman holistik tentang tata kelola sangat diperlukan sebelum mendorong food estate mencapai keekonomian pasar yang diinginkan dan dibutuhkan.
Pembangunan food estate tanpa disertai dengan upaya pelestarian lingkungan tidak akan menyelesaikan issue yang terjadi, tetapi justru menambah permasalahan seperti misalnya eksploitasi yang berlebihan. Sebaliknya pelestarian lingkungan tanpa diimbangi dengan kebijakan pembangunan food estate dapat mengakibatkan permasalahan seperti, misalnya, sosial–ekonomi akibat kenaikan harga makanan.
Baca Juga
Dalam proses untuk mencapai pengelolaan ekonomi secara bersama memang mengalami banyak kendala yang dihadapi seperti 1) skala prioritas dalam pemenuhan maupun perbaikan sumber daya yang terkait, 2) konsistensi dan komitmen kebijakan yang masih memiliki celah konflik kepentingan, 3) biaya yang di timbulkan dalam ukuran waktu serta inovasi terbuka yang dapat mendukung pembangunan food estate.
Mengesampingkan tata kelola dapat menimbulkan implikasi atas perkembangan ekonomi yang berlandaskan ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan menjadi negatif. Kepedulian terhadap berjalannya suatu mekanisme kelembagaan untuk memastikan pengambilan keputusan secara ilmiah masih rendah akibat tuntutan dan tanggung jawab dari para aktor memiliki hierarki yang berbeda.
Penelitian terhadap food estate yang memfokuskan pada keekonomian pasar berkelanjutan belum banyak dilakukan karena proses implementasi serta dampak tambahan yang mungkin terjadi dari upaya interdisipliner telah terabaikan seperti daur ulang dan potensi ekonomi sirkular belum memadai.
Kontribusi interdisipliner dari para aktor dalam membentuk sistem timbal balik (bottom-up maupun top-down) menjadi komponen penting untuk meredakan atau meminimalkan konflik kepentingan sebagai tindakan efektif mendukung pembangunan food estate.
Karena kurangnya pemahaman proses dan struktur tata kelola ketahanan pangan; ketersediaan pangan yang didasari oleh produk pertanian, peternakan dan perkebunan saat ini masih dikelola sebagian besar oleh aktor yang mempromosikan wacana liberalisasi perdagangan. Hal ini sedikit banyak memiliki kelemahan terutama bagi petani skala kecil, sehingga sering diketahui ketersediaan pangan menjadi arena kepentingan diluar kemampuan dalam mengelola sumber alam.
Banyak petani skala kecil dan aktor masyarakat sipil menawarkan pendekatan yang sangat berbeda, dengan fokus intrinsik pada keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Sangat penting bagi debat tata kelola ketahanan pangan untuk mengintegrasikan secara erat perspektif dari seluruh aktor dengan harapan dapat mengatasi berbagai implikasi negatif dari pelaksanaan ketahanan pangan yang dominan serta pengaruh dari kontribusi swasta dalam keekonomian pasar jangka panjang.
Dalam mengembangkan ketahanan pangan yang dikaitkan dengan ketidak pastian suatu ekonomi akan mendorong tingkat dinamika sosial–lingkungan yang berubah dengan cepat.
Integrasi masalah yang saling terkait seperti penyediaan lahan, teknologi, pelestarian lingkungan, serta produktivitas pangan membutuhkan mekanisme pengelolaan yang tepat, fleksibel dan adaptif.
Tanpa adanya ketiga hal tersebut potensi pengelolaan sumber daya dapat terperangkap kekakuan (sistem yang tangguh tetapi tidak adaptif), sehingga membatasi kemampuan dalam penyediaan pangan sesuai kebutuhan yang diinginkan.
Tidak semua negara memiliki tingkat tahap tata kelola yang sama, sehingga diperlukan langkah awal membuat kerangka pembangunan food estate yang dapat diterima oleh para aktor yang berpentingan. Implikasi kebijakan, praktik lapangan dan penelitian lanjutan bagi pembuat aturan maupun pedoman akan menjadi terbuka dan mendorong pertukaran informasi secara menyeluruh.
Walaupun tujuan pembangunan food estate dapat mengarah kepada keekonomian pasar, tetapi selama pemahaman tata kelola minim maka pembuktian tersebut masih berupa teori semata tanpa terciptanya ketersediaan pangan secara konkret ke depan.