Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gara-gara Batu Bara, Surplus Neraca Perdagangan RI Terancam Turun!

Ekonom memprediksi neraca perdagangan Indonesia terancam turun atau menyusut gara-gara batu bara. Kok bisa?
Proses pemuatan batu bara ke tongkang di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (13/10/2021). Bloomberg/Dimas Ardian
Proses pemuatan batu bara ke tongkang di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rabu (13/10/2021). Bloomberg/Dimas Ardian

Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman melihat kondisi turunnya permintaan batu bara secara signifikan dapat mempengaruhi kinerja neraca perdagangan Indonesia karena ekspor bahan bakar fosil, terutama batu bara, menjadi penopang surplus sepanjang 2022. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya potensi permintaan batu bara Indonesia untuk China dan India turun pada 2023. Harga komoditas unggulan ekspor tersebut juga terpantau mengalami penurunan. 

“Kami melihat trade surplus akan terus menyusut ke depannya,” ujarnya, Rabu (15/2/2023). 

Faisal menyampaikan bahwa ekspor komoditas tersebut menyumbang sekitar US$9,83 miliar atau 51,4 persen terhadap peningkatan surplus perdagangan 2022 yang mencapai US$19,11 miliar. 

Surplus perdagangan, seperti yang diharapkan, terus menyempit. Harga batu bara turun sebesar minus 37,69 persen (ytd) pada akhir Januari 2023, atau -44.06 persen (ytd) pada 14 Februari 2023.

BPS mencatat per 31 Januari 2023, harga batu bara bertengger di level US$318/mt atau turun dari harga Desember 2022 yang kala itu sebesar US$379,2/mt. 

Meski menyusut, Faisal memproyeksikan surplus perdagangan dapat bertahan lebih lama sebelum berubah menjadi defisit setelah China membuka kembali ekonominya, yang akan mendukung permintaan eksternal. 

“Indikator utama terbaru juga menunjukkan ekonomi global pada 2023 hanya mencatat perlambatan, bukan resesi,” jelasnya. 

Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet justru melihat ada potensi defisit meski surplus dari neraca dagang masih akan berlanjut terutama dalam kuartal I/2023. 

Namun demikian seiring dengan potensi melambatnya harga komoditas dan meningkatnya kebutuhan impor untuk beragam produk industri di bulan Ramadan nanti, ada potensi terjadi defisit pada neraca dagang Indonesia. 

“Saya kira ada peluang neraca dagang surplusnya akan membalik menjadi defisit di awal kuartal kedua nanti,” jelasnya, Rabu (15/2/2023). 

Di sisi lain, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan bahwa implikasi penurunan harga batu bara cukup signifikan berdampak ke kinerja ekspor secara keseluruhan. 

"Pembalikan arah ekspor batu bara akan mengulang tragedi pada 2013 silam. Neraca dagang 2013 defisit US$4 miliar atau melebar 143 persen dibanding 2012,” tuturnya, Rabu (15/2/2023). 

Penyebab Permintaan Batu Bara Turun

Dengan bangkitnya China setelah pencabutan kebijakan nol Covid-19 atau zero covid policy, ekonomi China kembali terbuka untuk pasar global. 

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah mengungkapkan China telah membuka kembali keran batu bara dari Australia sehingga terdapat pilihan negara untuk impor, selain Indoensia. 

Sementara itu, India tengah memacu produksi batu bara dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik.

“Kedua hal ini berpotensi mengurangi pangsa batu bara dari Indonesia,” tuturnya dalam Konferensi Pers Rilis BPS, Rabu (15/2/2023). 

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang utama pada 2023 seperti Amerika Serikat (AS), India, dan Korea Selatan diproyeksikan akan lebih rendah dari 2022 dan mengarah pada penurunan permintaan. 

Dorongan Hilirisasi

Bhima Yudhistira meminta pemerintah untuk segera melakukan diversifikasi produk ekspor ke barang yang memiliki nilai tambah seperti hilirisasi pertanian, perikanan, serta mendorong ekspor produk elektronik, otomotif, dan pakaian jadi. 

Pasalnya, BPS mencatat ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari 2023 turun 0,44 persen dibanding Januari 2022, demikian juga ekspor hasil pertanian, kehutanan, dan perikanan turun 3,49 persen, sedangkan ekspor hasil pertambangan dan lainnya naik 121,46 persen.

“Jadi tidak bisa hanya harapkan booming komoditas yang temporer. Jangan terlena dengan batubara, dalam jangka panjang pun banyak perusahaan batu bara menghadapi tekanan perubahan iklim dan nilai aset yang terus menurun,” imbuhnya. 

Meskipun diversifikasi dari produk ekspor sudah didorong oleh pemerintah, Yusuf melihat nuansa ketergantungan terhadap komoditas sebagai bahan baku utama relatif masih terlihat dari struktur ekspor Indonesia. 

“Saya kira ini yang kemudian menjadi pekerjaan rumah di kemudian hari dan sudah saya kira disampaikan oleh banyak pihak bahwa ekspor tentu perlu didorong menjadi nilai tambah yang lebih besar,” kata Yusuf. 

Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah menetapkan peta jalan hilirisasi higga 2040 yang akan fokus pada 21 komoditas dari 8 sektor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper