Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman usaha mikro dan kecil (UMK) dari yang sebelumnya pada Oktober 2024 menjadi Oktober 2026.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan hal ini dalam rapat terbatas yang dihadiri sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju pada Rabu (15/5/2024) di Istana Merdeka, Jakarta.
Peneliti dan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai bahwa sebenarnya tak semua UMK perlu untuk mendaftarkan produknya dalam sertifikasi halal.
Penyebabnya, saat ini dia menilai bahwa dalam prosesnya, UMK masih menemui kesulitan dalam akses pemenuhan kewajiban tersebut. Selain itu, ada tambahan biaya apabila ingin memenuhi sertifikasi itu.
“Akar masalah ini adalah UU Jaminan Produk Halal yang menyebutkan semua barang di Indonesia harus sertifikasi halal. Jadi ada kulkas halal, kacamata halal, dan produk lainnya harus halal. Makanya ada tambahan biaya bagi produsen. UMKM tidak bisa menjangkau hal tersebut. Makanya ketika ditunda, saya rasa cukup tepat. Namun paling tepat dibatalkan,” tuturnya kepada Bisnis, Sabtu (18/5/2024).
Dia pun meyakini bahwa terdapat sejumlah opsi lain yang bisa dipilih oleh pemerintah dibandingkan mewajibkan masyarakat dalam mendaftarkan produknya dalam sertifikasi halal.
Baca Juga
Huda menjabarkan pelaku usaha dapat mengganti sertifikasi halal dengan penanda makanan haram dan menyemarakkan klasterisasi produk ke dalam beberapa kategori sertifikasi halal.
“Klasterisasi ini membagi produk makanan ke beberapa kategori halal food seperti makanan halal by lembaga MUI. Deklarasi pribadi bahwa makanan tersebut halal. Kemudian makanan tidak mengandung pork ataupun lard,” pungkas Huda.
Sekadar informasi, kewajiban sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Pasal 140 regulasi ini mengatur bahwa penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan dimulai dari tanggal 17 Oktober 2019 sampai dengan 17 oktober 2024.
Di sisi lain, pemerintah selama ini telah mendorong berbagai upaya kepada pelaku usaha dalam mengurus sertifikasi halal. Misalnya, tarif sertifikasi halal yang murah, fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal gratis bagi UMK, penataan kewenangan yang lebih baik, proses layanan yang lebih cepat melalui digitalisasi layanan sertifikasi halal, serta pemangkasan SLA dari 90 hari menjadi 21 hari.
Inisiatif lainnya, pemerintah juga telah membangun ekosistem halal, antara lain dengan memperbanyak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dari 1 menjadi 72 LPH serta terbentuknya 17 Lembaga Pelatihan Jaminan Produk Halal yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain itu, saat ini sudah ada 248 Lembaga Pendamping Proses Produk Halal (LP3H). Penguatan SDM layanan juga terus dilakukan dengan melatih 94.711 Pendamping Proses Produk Halal (P3H), 1.220 Auditor Halal yang berada pada 72 LPH, 7.878 Penyelia Halal.
PENUNDAAN
Sebelumnya, Presiden Jokowi dalam waktu dekat akan segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mengundur kewajiban sertifikasi halal untuk UMK menjadi pada 2026.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UMKM) Teten Masduki menjelaskan bahwa alasan perpres akan segera diterbitkan, lantaran pemerintah melihat target sertifikasi halal untuk UMKM hingga Oktober sulit dicapai.
Hal ini disampaikannya usai mengikuti rapat terbatas (ratas) terkait dengan Sertifikasi Halal di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).
“Sudah diputuskan akan dibuat Perpres ditunda sampai 2026. Karena kan waktu tinggal 150 hari, ada aspek pembiayaan, ada aspek teknis lainnya itu hampir tidak mungkin pada 17 Oktober 2024 ini semua terutama yang UMKM bisa mendapatkan sertifikasi," ujarnya kepada wartawan.
Menurutnya, pilihan pemerintah saat ini sudah tepat untuk menunda sertifikasi, sebab apabila penerapan aturan itu dipaksakan berlaku pada Oktober 2024, maka tidak semua pelaku UMKM bisa segera mendapatkan sertifikat halal.
Pasalnya, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) harus menerbitkan 102.000 sertifikat setiap hari supaya bisa memenuhi kebutuhan. Sedangkan saat ini lembaga di bawah naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu rata-rata hanya menerbitkan 2.678 sertifikat.
"Kalau misalnya hari ini, hari ini kan kalau dipaksakan baru 44,4 juta sertifikat sementara kebutuhannya adalah sekitar 15,4 juta sertifikat. Nah kalau hari ini rata-rata per hari ada 2.600 sertifikat itu enggak akan terkejar. Kalau mau tetap dikejar sampai Oktober itu perlu 102.000 sertifikat setiap hari," umbuhnya
Apalagi, kata Teten jika melihat data di BPJPH hingga saat ini rata-rata cuma 2.678 sertifikat yang dibuat sehingga tidak mungkin pemerintah dapat mencapai targetnya pada Oktober 2024.
Jika dipaksakan, lanjut Teten, maka pelaku usaha UMKM akan dianggap melanggar hukum dan mengalami permasalahan.
Selain itu, dari sisi anggaran juga tidak memadai. Teten mengatakan penerbitan sertifikasi halal secara reguler itu menggunakan dana pribadi pengusaha, tetapi untuk penerbitan yang dibiayai pemerintah atau self declare itu membutuhkan dana sekitar Rp 3,5 triliun. Sedangkan anggaran yang tersedia di BPJPH tersedia hanya Rp 250 miliar.
"Nah angkanya enggak cocok, jadi kecil sekali yang dari kebutuhannya kira-kira Rp3,5 triliun tapi yang ada sekarang hanya Rp250 miliar. Jadi sudah tepat presiden menunda," katanya.
Menurut Teten, perpanjangan hingga 2026 juga sudah melalui perhitungan matang. Dengan demikian, diharapkan bisa memperbaiki dari aspek pembiayaan maupun aspek teknis lainnya.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga membenarkan adanya kekurangan dana dari penerbitan sertifikasi halal. Dengan mundurnya jadwal ini, maka diharapkan membuat anggaran pemerintah bisa menjadi lebih leluasa untuk digunakan.
"Tentu diharapkan dengan mundur jadwal ini bisa lebih leluasa anggarannya, anggaran yang dipakai," kata Airlangga.
Selain itu, menurutnya dimundurkannya jadwal ini juga memberikan waktu untuk mendorong pelaku usaha UMKM mendapatkan NIB.
"Tadi selain anggaran ada juga UMKM yang tidak mau diformalkan. Kan syaratnya itu mendapatkan NIB baru sertifikasi, jadi butuh waktu sosialisasi karena khawatir kalau NIB pajaknya seperti apa, padahal kalau pajak itu kan sudah ada regulasinya kalau dibawah Rp500 juta tidak dikenakan pajak dan sebagainya," imbuhnya.
Airlangga pun menyampaikan bahwa memang terdapat target sertifikasi UMKM sebanyak 10 juta. Namun, baru bisa dipenuhi hingga kini hanya 4,4 juta saja. Dia menjabarkan nantinya yang mendapatkan keringanan adalah UMKM yang mikro dengan penjualannya Rp1—2 miliar per tahun, kemudian yang kecil yang penjualannya sampai dengan Rp15 miliar per tahun.
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa kewajiban sertifikasi halal pada dua tahun mendatang tidak hanya ditetapkan untuk UMK yang bergerak di kategori makanan dan minuman, tetapi juga obat tradisional, herbal, produk kimia kosmetik, aksesoris, barang gunaan rumah tangga, serta berbagai alat kesehatan.
Di luar itu, dia melanjutkan untuk usaha kategori menengah dan besar kewajiban sertifikasi halal tetap berlaku pada Oktober 2024.
Menurutnya, keputusan pemerintah untuk mengundur selama dua tahun kewajiban sertifikasi halal bagi usaha mikro dan kecil adalah karena capaian target sertifikasi halal per tahun baru mencapai 4 juta lebih dari yang ditargetkan sebanyak 10 juta sertifikasi halal.
Adapun untuk produk dari berbagai negara lain akan diberlakukan kewajiban sertifikasi halal setelah negara tersebut menandatangani Mutual Recognition Arrangement (MRA).
“Jumlah sertifikasi halal target yang ada itu sertifikasi halal 10 juta, tetapi capaiannya sampai saat ini baru sekitar 4.418.343, jadi masih jauh dari pada capaian,” pungkas Airlangga.