Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa subsidi energi, seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG yang selama ini mengalir, tidak tepat sasaran.
Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Wahyu Utomo mengungkapkan bahwa kondisi tersebut bahkan tidak efektif dalam mengurangi kemiskinan.
“Kalau kami lihat subsidi saat ini, masalahnya beberapa hal, subsisi tidak tepat saran, itu fakta. Kedua, subsidi enggak efektif kurangi kemiskinan, kalau sudah tidak tepat sasaran dan menimbulkan ketidakadilan, reformasi harus dijalankan,” ungkapnya dalam dalam Diskusi Publik Indef: Urgensi Reformasi Subsidi Energi secara daring, Selasa (14/2/2023).
Dalam paparannya, Wahyu menyampaikan bahwa subsidi saat ini yang bersifat non-targeted untuk solar dan LPG tidak tepat sasaran atau bersifat regresif, di mana masyarakat yang kaya lebih menikmati.
Distribusi manfaat subsidi solar didominasi oleh orang kaya dengan cakupan 26 persen dari total subsidi, sementara hanya 3 persen masyarakat dengan kategori termiskin yang menikmati subsidi tersebut.
Begitu pula dengan LPG, di mana hanya 4 persen masyarakat termiskin yang merasakan manfaat, dan 19 persen golongan terkaya yang menikmati uang negara tersebut.
Di sisi lain, subsidi lsitrik golongan rumah tangga bersifar lebih progresif karena lebih tepat sasaran untuk R1 900 VA (miskin dan rentan), namun masih dinikmati oleh golongan mampu yang menerima manfaat lebih besar karena konsumsi listrik lebih tinggi.
Pada 2022, pemerintah kewalahan dengan anggaran subsidi energi dan kompensasi yang melonjak menjadi Rp551,2 triliun akibat dorongan harga minyak global. Bila membandingkan dengan anggaran 2021, saat itu hanya Rp187 triliun.
Tahun ini pemerintah mengalokasikan anggaran untuk subsidi energi dan kompensasi sebesar Rp339,6 triliun.
Untuk menyasar subsidi lebih tepat sasaran, pemerintah melalui Kemenkeu mempertimbangkan dua cara dalam melakukan reformasi subsidi energi, penyesuaian harga atau subsidi tertutup.
Wahyu menyebutkan pihaknya tengah mempertimbangkan subsidi tertutup agar lebih tepat sasaran, namun pemerintah perlu berhati hati dalam penerapannya.
“Reformasi caranya macam-macam bisa penyesuaian harga atau subsidi tertutup,” ujarnya.
Anak buah Menkeu Sri Mulyani tersebut menekankan bahwa pemerintah selalu mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, fiskal, dan resistensi publik dalam setiap rencananya, termasuk penghitungan dampak inflasi.
Reformasi akan berjalan dengan memperhitungkan tren pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat yang mungkin terdampak.
“Kalau semua [pertimbangan] seem possible, ini akan jalan. Kalau belum bisa jalan, cari momentum yang tepat,” tuturnya,
DI satu sisi, Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Abra Talattov meminta kepada pemerintah agar segera melakukan transformasi kebijakan subsidi energi menjadi subsidi tertutup.
Artinya, hanya orang-orang tertentu yang terpilih yang dapat mengakses manfaat tersebut, seperti halnya pendataan konsumen BBM dalam aplikasi MyPertamina.
“Pemerintah perlu segera melakukan transformasi kebijakan subsidi energi dari mekanisme terbuka menjadi subsidi tertutup dan tepat sasaran. Instrumen revisi Perpres No. 191/2014 kemudian profiling digitalisasi konsumen melalui MyPertamina itu kami anggap menjadi instrumen transisi pendukung untuk melalukan reformasi subsidi energi yang lebih fundamental,” paparnya.