Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi Covid-19 bukan hanya berdampak pada sektor teknologi, sektor perhotelan di Indonesia pun terkena dampak tersebut. Banyak hotel dijual di situs online dengan harga mulai Rp75 juta hingga Rp12 triliun, dengan Bali menjadi provinsi yang terbanyak melego aset utama bisnis tersebut.
Berdasarkan DataIndonesia.id, Senin (13/2/2023), dari laman Lamudi.co.id terdapat 2.730 hotel dijual di Indonesia per 31 Januari 2023.
Melihat sebarannya, penjualan hotel terjadi di hampir seluruh provinsi Indonesia. Hanya tiga provinsi yang tidak ada penjualan hotel melalui Lamudi.co.id, yakni Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Bali menjadi provinsi dengan jumlah hotel yang dijual paling banyak, yakni 951 unit. Jumlah itu setara dengan 34,84 persen dari total hotel yang dijual di dalam negeri.
Posisinya diikuti Jawa Barat dengan jumlah hotel dijual sebanyak 379 unit. Kemudian, hotel yang dijual di Jakarta terpantau sebanyak 358 unit. Jumlah hotel yang dijual di Jawa Timur sebanyak 345 unit.
Adapun, jumlah hotel yang dijual di Yogyakarta dan Jawa Tengah masing-masing sebanyak 322 unit dan 134 unit Adapun, hotel yang dijual paling murah sebesar Rp75 juta dengan luas 100 meter persegi. Sementara hotel yang dijual paling mahal mencapai Rp12 triliun dengan luas 40.000 meter persegi.
Baca Juga
Menariknya fenomena penjualan ini terjadi dari awal pandemi Covid-19 pada 2020. Wakil Ketua Umum Bidang Hotel Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Iswandi Said, mengatakan fenomena ini telah terjadi sejak pandemi Covid-19 pada 2020-2021.
"Sebenarnya waktu pandemi juga banyak yang jual, itu waktu pandemi di Bali ada sekitar 80 hotel yang mau dijual, tapi kan nggak semua juga laku," kata Iswandi kepada Bisnis.com, Kamis (19/1/2023).
Menurutnya, ramainya hotel di jual lewat platform online menjadi suatu pengorbanan bagi pengelola akibat pembengkakan cicilan dan tidak ada lagi relaksasi yang diberikan perbankan untuk operasional hotel.
"Walaupun ada relaksasi tapi setelah selesai pandemi otomatis perbankan mengembalikan kebijakannya ke yang semula, termasuk membayar kewajiban yang kemarin selama pandemei tertunda," jelasnya.
Kondisi tersebut tentunya menjadi tantangan besar bagi para pemilik hotel yang terlilit dengan kewajiban.
Di sisi lain, dia pun melihat berakhirnya pandemi tidak serta merta membuat okupansi dan bisnis perhotelan pulih sepenuhnya. Iswandi menuturkan perlu waktu untuk bisnis perhotelan kembali memiliki performa yang positif dan meningkat. Terkait penjualan hotel, dia pun meragukan minat investor untuk mengoperasikan kembali.
"Produknya selama 2 tahun nggak ada tamu kan rusak, harus di renovasi, di perbaiki, tapi ya lihatnya case by case, mungkin saja ada satu hotel dijual karena return-nya beda dari hotel lain, karena tiap owner punya problem berbeda," ujarnya.