Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah untuk mengurangi jumlah bandara internasional berisiko merugikan Indonesia dalam jangka panjang jika tidak dikaji secara mendalam
Pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman menuturkan, jumlah pengurangan bandara internasional menjadi 15 unit dinilai masih mencukupi untuk sementara. Namun, jumlah tersebut dinilai akan kurang dari kebutuhan dalam jangka panjang.
“Rencana 15 bandara internasional ini cukup balance dan angka yang masih masuk akal untuk sekarang dibanding rencana-rencana sebelumnya yang hanya 5 – 9 bandara internasional saja yang akan merugikan semua pihak,” katanya saat dihubungi, Senin (6/2/2023).
Meski demikian, Gerry mengatakan pemerintah harus memperhatikan beberapa hal dalam menentukan bandara yang akan melayani rute penerbangan internasional. Pertama, pemerintah harus mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap daerah yang pasarnya berkembang dan sudah bisa melayani penerbangan internasional.
Menurutnya, kebijakan pengurangan bandara internasional akan berimbas positif dalam jangka pendek untuk meratakan pangsa pasar ke destinasi – destinasi lain yang belum pernah dilayani penerbangan internasional.
Meski demikian, dia menilai jika kebijakan ini diberlakukan secara baku dan untuk jangka panjang, hal ini justru akan merugikan Indonesia sendiri.
Baca Juga
Gerry menyarankan pemerintah juga membuat kebijakan mengenai kriteria-kriteria pengajuan status bandara internasional yang jelas dan market oriented. Dia mencontohkan, sebuah daerah bisa mengajukan status bandara internasional dengan pemda dan/atau pengelola bandara mengantongi kerja sama dengan minimum 2 maskapai, dimana salah satunya harus maskapai asal Indonesia.
Selain itu, daerah juga perlu menyatakan komitmennya melakukan penerbangan internasional ke daerah tersebut. Hal ini juga dapat dilengkapi dengan proyeksi pasar, durasi komitmen, dan skala yang cukup untuk beberapa penerbangan internasional dalam sehari.
Dia melanjutkan, poin-poin tersebut atau yang setara harus dijadikan pertimbangan mengingat investasi yang harus dikeluarkan untuk bandara internasional. Fasilitas-fasilitas pendukung bandara internasional seperti kantor pengelola bandara, bea cukai, imigrasi, karantina hewan dan tanaman, serta layanan kesehatan bandara, tidak boleh mubazir.
“Jangan lagi ada bandara Internasional yang fasilitas lengkap tapi tidak ada kegiatan penerbangan internasionalnya,” lanjutnya.
Kedua, bandara-bandara yang dipertahankan menjadi bandar udara internasional rata-rata sudah termasuk dalam kategori sibuk dan padat.
Menurut Gerry hal ini akan berdampak negatif pada konektivitas wisatawan asing yang hendak terbang ke destinasi wisata yang sudah bukan menjadi bandara internasional. Salah satu efek negatif dari aspek ini adalah biaya perjalanan yang akan lebih mahal dan kenaikan waktu tempuh.
“Selain itu penambahan slot internasional ke bandara-bandara tersebut juga akan sulit. Jangan sampai pembatasan ini malah mencekik kedatangan wisatawan asing ke tujuan-tujuan yang tidak memiliki bandara internasional,” pungkasnya.