Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar telah mengklarifikasi pemberitaan media massa yang melaporkan dirinya jengkel lantaran anggaran program kemiskinan sekitar Rp500 triliun hanya habis untuk rapat, seminar, dan studi banding.
Meskipun demikian, bukan berarti sinyalemen MenPANRB sepenuhnya keliru. Tidak hanya di tingkat kementerian, di instansi pemerintah daerah pun masih sering terjadi pengalokasian anggaran kemiskinan tidak seperti yang diharapkan.
Walaupun bukan berarti dana Rp500 triliun anggaran kemiskinan semua habis untuk kegiatan yang sia-sia dan tidak berkaitan langsung dengan upaya penanganan kemiskinan. Akan tetapi harus diakui ada banyak instansi yang mengalokasikan anggaran kemiskinan untuk hal-hal yang tidak selaras.
Terlepas dari klarifikasi yang dikemukakan, MenPANRB sebetulnya pantas risau dengan pengalokasian dan pemanfaatan anggaran kemiskinan. Setiap tahun yang namanya program penanggulangan kemiskinan selalu menjadi prioritas pemerintah.
Namun, yang ironis adalah hasilnya yang seolah tanpa bekas. Alih-alih berkurang signifikan, di Indonesia angka kemiskinan cenderung masih fluktuatif. Bahkan, kalau berbicara kemiskinan relatif dan kesenjangan sosial bukan tidak mungkin kondisinya sudah membaik.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2022 tercatat sebesar 9,57% (26,36 juta orang). Angka tersebut meningkat sebesar 0,03 poin atau sekitar 0,20 juta orang dibandingkan kondisi Maret 2022.
Baca Juga
Tingkat kemiskinan yang sempat melewati angka dua digit lagi yakni sebesar 10,19% pada September 2020 sudah berhasil diturunkan kembali hingga ke angka 9,54% pada Maret 2022. Masalahnya adalah kenapa di tengah optimisme kondisi perekonomian Indonesia yang membaik justru orang miskin kembali naik?
Kalau mau jujur, kenaikan angka kemiskinan yang kini terjadi di Indonesia bukan hal yang terlalu mengagetkan. Seorang ekonom asal Perancis, Thomas Piketty dalam bukunya yang berjudul Capital in 21st Century (2014) tidak hanya membahas hubungan antara kesenjangan dan distribusi pendapatan.
Melalui kajian yang dilakukan selama 15 tahun, Piketty menyimpulkan bahwa ketimpangan yang terjadi pada abad ke-19 diprediksi akan kembali terjadi pada abad ke-21 dan menjadi lebih buruk pada masa mendatang.
Pandemi Covid-19 yang tak kunjung selesai, perang Rusia-Ukraina dan resesi global yang kini menghantui dunia membuat kondisi negara-negara di dunia—tak terkecuali Indonesia—terpaksa harus menghadapi tekanan yang luar biasa.
Indeks kedalaman kemiskinan menurun sebesar 0,024 poin, sedangkan indeks keparahan kemiskinan menurun 0,016 poin. Penurunan tersebut juga terjadi baik di perkotaan maupun di perdesaan. Tetapi, yang menjadi masalah adalah kesenjangan yang terjadi antara masyarakat miskin dan masyarakat menengah ke atas, terlebih masyarakat kelas atas.
Di Indonesia, kalau dibuat perbandingan kekayaan 4 konglomerat ternyata sama dengan kekayaan yang dimiliki 100 juta penduduk miskin. Artinya, di luar isu kemiskinan yang masih menjadi masalah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, ternyata di dalamnya juga muncul isu kesenjangan yang makin mencemaskan.
Kekeliruan yang terjadi dalam upaya pengentasan kemiskinan yang selama ini dikembangkan di Indonesia sebetulnya ada pada banyak hal. Lebih dari sekadar kekeliruan dalam pengalokasian anggaran kemiskinan, kurang efektivitasnya upaya penanganan kemiskinan bermuara pada ketidaktepatan substansi program dan pada tata kelola pajak yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat miskin.
Pertama, banyak bukti menunjukkan program penanggulangan kemiskinan dan program bantuan sosial yang selama ini digulirkan pemerintah umumnya hanya berkutat pada program yang sifatnya amal-karitatif. Tidak banyak program penanggulangan kemiskinan yang benar-benar berorientasi pada upaya pemberdayaan masyarakat miskin.
Berbagai program bantuan sosial yang digulirkan umumnya hanya bermanfaat untuk memperpanjang daya tahan keluarga miskin menghadapi tekanan krisis, dan pelan-pelan justru mengikis potensi swakarsa keluarga miskin untuk menolong dirinya sendiri.
Kedua, berkaitan dengan tata kelola dan pemanfaatan pajak yang belum berpihak kepada masyarakat miskin. Sebuah penelitian yang dilakukan Bank Dunia (2015) melaporkan bahwa pengumpulan pajak Indonesia adalah kedua terendah di Asia Tenggara dan sistem perpajakan Indonesia gagal untuk memainkan peran penting dalam mendistribusikan ulang kekayaan.
Untuk meningkatkan pendapatan pajak yang memicu rendahnya anggaran layanan publik, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, Indonesia membutuhkan tarif pajak yang lebih tinggi pada kelompok masyarakat berpendapatan tinggi. Perbaikan mekanisme redistribusi pendapatan melalui tata kelola pajak mutlak dibutuhkan untuk mencegah persoalan kesenjangan tidak makin melebar. Bagaimana pajak dikumpulkan dan kemudian bagaimana pajak itu dimanfaatkan untuk membantu upaya pemberdayaan masyarakat miskin adalah salah satu kunci untuk memastikan komitmen negara meningkatkan kesejahteraan rakyat dan sekaligus menmgurangi ketimpangan sosial.