Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan dapat menekan 500.000 ton emisi karbon dioksida (CO2) lewat skema perdagangan karbon tahun ini.
Rencananya, 99 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bakal ikut skema perdagangan karbon secara komersial pada awal tahun ini. Jumlah tersebut terdiri atas 55 unit pembangkit berasal dari portofolio PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan sisanya dari pembangkit swasta.
“Dari perhitungan kami penurunannya 500.000 ton untuk tahun ini, memang kalau melihat angka 250 juta ton yang berasal dari sektor ketenagalistrikan ini hanya 1 per 500, tidak besar,” kata Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat sosialisasi di Gedung Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Kamis (24/1/2023).
Kendati demikian, Dadan menegaskan, target itu terbilang progresif terkait dengan upaya percepatan penurunan emisi dari sektor pembangkit sembari menambah opsi pembiayaan untuk sektor energi baru terbarukan (EBT).
“Kira-kira ini nilainya sama dengan menyediakan listrik yang lebih bersih dengan skala 0,5 gigawatt (GW) sampai dengan 0,6 GW yang dibangun baru, tapi kan kita tidak membangun, kita menggeser,” tuturnya.
Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, 99 unit PLTU yang berpotensi ikut skema perdagangan karbon tahun ini memiliki total kapasitas terpasang sebesar 33.569 megawatt (MW). Sementara itu, total kapasitas terpasang PLTU batu bara secara nasional mencapai kurang lebih 39.016 MW.
Baca Juga
Adapun, pemerintah menetapkan persetujuan teknis batas atas emisi gas rumah kaca atau PTBAE yang masuk ke dalam sistem jaringan PLN paling ketat di angka 0,911 ton CO2e untuk PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang lebih dari 400 MW.
Selain itu, PTBAE diputuskan sebesar 1,011 ton CO2e per MWh untuk PLTU nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang 100 MW sampai sama dengan 400 MW. Adapun, PTBAE ditetapkan 1,089 ton CO2e per MWh untuk PLTU mulut tambang dengan kapasitas lebih besar dari 100 MW.
Sementara itu, PTBAE diberikan sebesar 1,297 ton CO2e per MWh untuk PLTU mulut tambang dan nonmulut tambang dengan kapasitas terpasang di rentang 25 MW sampai sama dengan 100 MW.
“Semua akan tercatat, saya misalnya harusnya 100, hanya bisa 80, saya akan tawarkan dua di belakangnya tahun berikutnya dikurangi 20 karena masih punya utang 20 kalau enggak kita bawa aja terus, kita catat apakah dikonversi menjadi pajak karbon,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, perdagangan karbon yang diatur dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) disebut sebagai bentuk pendalaman pasar Bursa Efek Indonesia.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman mengatakan, pihaknya mengapresiasi adanya UU P2SK tersebut terutama terkait dengan perdagangan karbon.
“Kami mengapresiasi P2SK sebagai bentuk pendalaman pasar kita kedepan dan juga perluasan daripada bursa efek Indonesia tidak hanya bursa saham tapi juga bursa karbon,” katanya dalam Keterangan Pers bersama Ketua Dewan Komisioner OJK di Kantor Presiden, Senin (16/1/2023).
Hal tersebut disampaikan Iman sesaat setelah pertemuan dengan Presiden Joko Widodo bersama dengan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan terkait persiapan pertemuan tahunan industri jasa keuangan sekaligus laporan perkembangan terakhir sektor jasa keuangan dan kinerja dari industri jasa keuangan.