Bisnis.com, JAKARTA – Diundangkannya perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura oleh Presiden Joko Widodo membuka ruang bagi penegak hukum untuk mengekstradisi warga Indonesia di Singapura, yang menjadi buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Presiden resmi menandatangani Undang-undang No.5/2023 tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang Ekstradisi Buronan pada 13 Januari 2023.
Ada beberapa kesepakatan yang diatur dalam beleid ini, antara lain kesepakatan para pihak untuk melakukan ekstradisi, tindak pidana yang dapat diekstradisikan, dasar ekstradisi, pengecualian wajib terhadap ekstradisi, permintaan dan dokumen pendukung, serta pengaturan penyerahan.
Beleid ini pun dinilai banyak pihak dapat menjadi babak baru pemulangan buronan kasus BLBI karena mayoritas obligor/debitur BLBI berada di Singapura.
Sampai dengan tahun lalu, Kementerian Keuangan mencatat bahwa terdapat 46 obligor/debitur yang sedang ditangani oleh Satgas BLBI. Sebanyak 35 di antaranya berada di dalam negeri, sementara 10 dari 11 obligor yang berada di luar negeri ada di Singapura.
Sementara itu, hingga September 2022, Satgas BLBI berhasil menyita aset dengan nilai total Rp27 triliun dari para debitur atau obligor. Adapun total aset BLBI yang dikejar negara mencapai Rp110,45 triliun sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2020.
Baca Juga
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy menuturkan bahwa UU No.5/2023 dapat menjadi momentum baru bagi pemerintah, terutama dalam pertukaran ekstradisi buronan antara Indonesia dan Singapura.
Beleid tersebut juga diyakini mampu menjadi alat bagi penegak hukum untuk mengejar buronan dalam kasus BLBI, yang disinyalir banyak menetap di Singapura.
“Kalau melihat sebelum adanya aturan ini, proses dari pemburuan aset BLBI cukup progresif, sehingga saya kira dengan adanya UU ini, semakin memperbesar peluang untuk mengejar target aset BLBI yang dikejar negara,” ujar Yusuf kepada Bisnis, Rabu (18/1/2023).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam menilai masih cukup waktu untuk membuktikan keefektifan perjanjian ekstradisi dalam menyeret pelaku skandal BLBI kembali ke Indonesia.
Menurutnya, hal itu akan sangat bergantung pada komitmen pemerintah Singapura, yang selama ini terlihat cenderung melindungi buronan pelanggar hukum dari Indonesia.
“Kita belum bisa sepenuhnya berharap UU ini akan serta merta menjadi karpet merah bagi penegak hukum kita menemukan dan mendapatkan para buronan pelanggar hukum yang saat ini bersembunyi di Singapura,” pungkasnya.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Ekonomi Politik Universitas Paramadina Didik J. Rachbini menilai penegak hukum Indonesia harus memiliki komitmen dan mampu mengejar buronan asal Indonesia di Singapura karena skandal BLBI telah mengusik rasa keadilan masyarakat.
Adapun pada Desember tahun lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly menyatakan kehadiran perjanjian ekstradisi tidak terlepas dari faktor geografis antarkedua negara serta kebijakan yang melingkungi.
Menurutnya, Singapura yang berbatasan langsung dengan Indonesia membuat intensitas pergerakan dua warga negara tinggi. Selain itu, kebijakan yang memasukkan Singapura ke dalam daftar negara bebas visa, menyebabkan negara ini kerap menjadi tujuan transit pelaku kejahatan.
“Adanya kerja sama ekstradisi dengan Singapura, akan memudahkan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya berada di Singapura,” tutur Yasonna pada pertengahan Desember 2022, dikutip dari laman resmi Kemenkumham.
Selain itu, perjanjian ekstradisi turut didukung oleh kedekatan hubungan bilateral dan geopolitik antara Indonesia dengan Singapura, untuk mencegah timbulnya potensi permasalahan penegakan hukum yang disebabkan adanya batas pada wilayah yurisdiksi.