Bisnis.com, JAKARTA – Defisit Neraca transaksi berjalan diproyeksikan kembali terjadi pada 2023 dikarenakan kinerja ekspor yang berpotensi menurun. Hal itu terjadi seiring dengan perlambatan ekonomi global dan penurunan harga komoditas.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia sepanjang 2022 tumbuh sebesar 26,07 persen, melambat jika dibandingkan dengan periode 2021 yang tumbuh sebesar 41,88 persen.
Chief Economist Bank Mandiri (BMRI) Andry Asmoro mengatakan perlambatan ini mencerminkan mulai lemahnya permintaan global di tengah laju inflasi yang tinggi, yang kemudian direspons oleh normalisasi moneter secara agresif oleh negara maju. Hal ini juga menyebabkan penurunan harga komoditas.
Secara sektoral, dia menyampaikan bahwa ekspor pertambangan meningkat sebesar 71,22 persen pada 2022, berkat harga dan permintaan batu bara yang relatif tinggi, terutama dipicu oleh ketegangan geopolitik Rusia dan Ukraina yang telah mengganggu rantai pasokan global dan menyebabkan krisis energi.
Sejalan dengan itu, impor yang tercatat tumbuh 21,07 persen pada 2022 juga melemah dari capaian pertumbuhan pada 2021 sebesar 38,59 persen.
“Pertumbuhan impor melemah menjadi 21,07 persen, karena kenaikan inflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah telah menurunkan permintaan domestik sampai taraf tertentu, terutama untuk barang-barang konsumsi,” katanya, Senin (16/1/2023).
Impor barang konsumsi mengalami penurunan sebesar -1,74 persen pada 2022. Sementara itu, impor bahan baku yang merupakan penyumbang impor terbesar terus meningkat menjadi sebesar 23,04 persen pada 2022. Impor barang modal pun dilaporkan meningkat sebesar 26,99 persen pada 2022.
Andry memperkirakan pertumbuhan ekspor akan menurun pada 2023 karena penurunan harga komoditas, terutama batu bara, didorong oleh permintaan global yang lesu.
“Hal ini dipicu oleh meningkatnya risiko perlambatan ekonomi global di tengah berlanjutnya pengetatan moneter global untuk melawan inflasi,” jelasnya.
Meski diproyeksikan menyusut, Andry mengatakan surplus perdagangan bisa bertahan lebih lama sebelum berbalik menjadi defisit karena harga komoditas diproyeksi turun secara bertahap setelah China membuka kembali perekonomiannya.
Selain itu, banyak analis juga menilai bahwa perekonomian kawasan Eropa hanya akan mencatat perlambatan pada 2023, bukan resesi.
Sementara itu, pertumbuhan impor pada 2023 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan ekspor karena didukung permintaan domestik yang terus menguat, menyusul pencabutan PPKM pada akhir 2022, serta berlanjutnya Proyek Strategis Nasional.
Dengan perkembangan tersebut, Andry memperkirakan neraca transaksi berjalan akan berbalik defisit pada 2023.
“Kami memperkirakan bahwa neraca transaksi berjalan akan berubah menjadi defisit yang dapat dikelola sekitar 1,10 persen dari PDB pada 2023 dari perkiraan surplus sebesar 1,05 persen dari PDB pada 2022,” katanya.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan bahwa surplus neraca perdagangan Indonesia pada 2023 akan menyempit secara signifikan.
Penyempitan surplus perdagangan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan melambat di negara mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat dan China.
“Hal ini akan menyebabkan penurunan permintaan barang ekspor Indonesia ke negara mitra dagang. Selain itu World Trade Organization [WTO] juga memproyeksikan volume ekspor global pada 2023 hanya tumbuh sekitar 1 persen,” katanya.
Komoditas ekspor yang diperkirakan turun diantaranya tekstil dan alas kaki yang banyak diekspor ke negara-negara maju khususnya Amerika. Selain itu, penurunan juga diperkirakan terjadi pada produk makanan dan minuman yang banyak diekspor ke Uni Eropa.
Di sisi lain, impor pada 2023 diperkirakan tetap kuat, didorong oleh permintaan domestik yang kuat dan masih geliatnya sektor manufaktur domestik.
“Kondisi ini akan berdampak pada menyempitnya surplus perdagangan, dikarenakan ekspor yang trennya turun sedangkan tren impornya cenderung tetap,” jelasnya.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan neraca perdagangan Indonesia pada 2023 masih berpotensi mencatatkan surplus yang tinggi, meski lebih rendah dari capaian pada 2022.
“Neraca dagang full year 2023 diperkirakan tetap surplus pada kisaran US$$40 miliar hingga US$45 miliar, meskipun lebih rendah dari surplus 2022,” katanya.
Dia mengatakan, perkiraan tersebut mempertimbangkan potensi normalisasi harga komoditas global serta penurunan permintaan global di tengah ekspektasi perlambatan ekonomi global.