Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyarankan pemerintah untuk meninjau ulang mekanisme pelelangan wilayah kerja panas bumi (WKP) pada tahun ini.
Saran itu disampaikan menyusul negosiasi tarif jual listrik panas bumi yang kerap buntu antara kepentingan pengembang dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Konsekuensinya, sejumlah proyek eksplorasi tidak dapat dilanjutkan lantaran tidak adanya kepastian jual beli listrik dari perusahaan setrum pelat merah tersebut.
“Jadi yang dilelang adalah lapangan yang sudah proven sehingga ongkos pengembangan lebih rendah,” kata Fabby saat dihubungi, Minggu (8/1/2023).
Lewat skema itu, dia berpendapat, biaya eksplorasi untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dapat ditekan.
Dengan demikian, ongkos eksplorasi panas bumi tidak bakal dilimpahkan pada perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) yang turut memengaruhi harga jual listrik di masyarakat.
“Dulu rencananya pemerintah ingin menurunkan risiko eksplorasi sehingga biaya pengembangan panas bumi, tapi sampai sekarang belum terlihat hasilnya,” ujarnya.
Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk membuka kembali lelang tiga hingga empat WKP tahun ini. Komitmen itu menyusul minat investor yang tinggi untuk kembali mengakuisisi sejumlah lapangan potensial di dalam negeri.
“Tahun ini rencanannya ada tiga hingga empat lokasi yang akan dilelang,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana kepada Bisnis, Minggu (8/1/2023).
Sebelumnya, Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) melaporkan polemik harga jual listrik yang ditawarkan PT PLN masih menjadi kendala utama pengembangan panas bumi untuk berinvestasi di Indonesia.
Ketua Umum API, Priyandaru Effendi, mengatakan harga jual listrik yang disanggupi PLN cenderung berada di bawah tingkat keekonomian proyek. Konsekuensinya, investor masih berhati-hati untuk ikut berpartisipasi pada pelelangan dua WKP di antaranya Way Rate dan Nage yang sudah ditawarkan pemerintah sejak akhir Desember 2022.
“Minat investor untuk berinvestasi cukup besar namun sejauh ini terhalang harga jual listrik yang belum memenuhi tingkat keekonomian proyek serta kepastian pembelian listrik oleh PLN,” kata Priyandaru saat dihubungi, Minggu (8/1/2023).
Di sisi lain, Priyandaru mengatakan, sebagian besar perusahaan panas bumi masih menunggu efektivitas Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No.112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik pada lelang dua WKP tersebut yang bakal berakhir pada 13 Januari 2022.
Kendati demikian, dia mengungkapkan, skema harga patokan tertinggi atau ceiling tariff yang diakomodasi di dalam Perpres itu dianggap masih belum mampu menggambarkan tingkat keekonomian proyek panas bumi saat ini.
Dia meminta pemerintah dapat memberikan insentif tambahan untuk mengimbangi mahalnya biaya eksplorasi hingga pengembangan panas bumi di dalam negeri.