Bisnis.com, JAKARTA - Moody's Analytics mengungkapkan bahwa Amerika Serikat (AS) akan mengalami 'slowcession', bukan resesi seperti yang diprediksi banyak pihak.
Ekonom Moody’s Analytics yang dipimpin Mark Zandi mengatakan ekonomi AS sedang berjuang pada tahun 2023 dengan terhentinya pertumbuhan dan kenaikan tingkat pengangguran.
“Resesi tentu menjadi ancaman serius. Namun, perkiraan dasar prospek yang paling mungkin adalah ekonomi akan menghindari penurunan. Sebut saja sebuah 'slowcession'," kata Zandi dilansir dari Business Insider pada Kamis (5/1/2023).
Apa itu Slowcession?
Istilah slowcession diciptakan oleh Moody’s sendiri, yang berarti sebuah skenario saat pertumbuhan ekonomi hampir terhenti, tetapi tidak sampai berbalik mengalami kontraksi.
Analis Moody’s menjelaskan alasan di balik pandangan mereka ini sejalan dengan upaya Federal Reserve (The Fed) untuk mendinginkan inflasi dengan kenaikan suku bunga yang agresif.
Baca Juga
"Prospek dasar menyatakan bahwa The Fed akan dapat mencapai kondini tanpa memicu resesi. Artinya, ia akan dapat menaikkan suku bunga cukup tinggi, cukup cepat untuk cukup memadamkan tekanan upah dan harga, tetapi tidak terlalu tinggi dan cepat sehingga mengetuk angin keluar dari ekonomi, " kata Zandi.
Tekanan inflasi telah mereda dari level tertinggi 40 tahun pada tahun 2022. Pada bulan November, Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 7,1 persen, berada di bawah ekspektasi ekonom.
Namun, Wall Street telah memberikan peringatan mengenai penurunan ekonomi pada tahun ini karena The Fed terus menaikkan suku bunga acuan.
Meski demikian, Zandi menilai kesehatan keuangan konsumen, bank, dan bisnis Amerika akan menahan resesi agar tidak terjadi.
"Dalam ekonomi kita yang berorientasi pada konsumen, pembeli adalah tembok api (firewall) antara ekonomi yang jatuh ke dalam resesi dan ekonomi yang menghindari penurunan. Meskipun ekonomi pasti akan berada di bawah tekanan, terutama karena rumah tangga berpenghasilan rendah yang tertekan secara finansial, firewall ini harus terus bertahan," katanya.
Dia juga mengatakan penurunan harga minyak sebagai faktor yang mendukung skenario 'slowcession'. Harga minyak mentah WTI turun mendekati US$80 per barel dari puncaknya lebih dari US$120 per barel pada Juni tahun lalu.