Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tabungan dan kebutuhan penghasilan menjadi faktor utama penyebab masyarakat Indonesia hanya dapat tinggal di rumah kurang dari lima hari selama pandemi Covid-19.
Hal tersebut merupakan temuan Menteri Keuangan periode 2013—2014 dan pengajar senior Universitas Indonesia Chatib Basri bersama ekonom dan peneliti Syarifah Namira Fitraina. Temuan itu mereka tuliskan dalam buku bertajuk Covid-19 in Indonesia: Impacts in the Economy and Ways to Recovery.
Chatib menjelaskan bahwa terdapat keterkaitan antara perkembangan kasus Covid-19 dengan mobilitas masyarakat. Salah satu temuan paling signifikan, ketika terjadi lonjakan kematian akibat Covid-19, masyarakat cenderung memilih untuk tinggal di rumah demi menghindari penularan virus.
Meskipun begitu, masyarakat ternyata tidak dapat terus menerus tinggal di rumah meskipun Covid-19 masih mengganas. Mereka akhirnya tetap keluar dari rumah karena berbagai alasan, terutama ekonomi.
"Yang menarik, mereka hanya tinggal di rumah untuk waktu kurang dari lima hari. Pada hari keempat atau hari kelima, mereka kembali memutuskan untuk keluar rumah," ujar Chatib dalam unggahan video di akun Instagramnya, dikutip pada Sabtu (31/12/2022).
Chatib dan Namira fokus memberikan penjelasan dari sisi ekonomi atas fenomena tersebut. Berdasarkan temuannya, orang dapat tinggal di rumah dalam waktu cukup lama jika memiliki cukup tabungan, sehingga kondisi ekonominya masih terjaga jika tidak keluar rumah.
Baca Juga
Kondisi serupa pun terjadi kepada segmen masyarakat yang masih bisa mempertahankan penghasilan dengan bekerja dari rumah. Para pekerja yang diperbolehkan untuk bekerja dari rumah menjadi terselamatkan secara ekonomi.
Meskipun begitu, sebagian besar lapisan masyarakat mengalami penurunan jumlah tabungan saat pandemi Covid-19. Hal tersebut membuat mereka harus keluar rumah untuk bekerja demi mempertahankan kondisi ekonomi individu atau keluarga.
"Mereka yang miskin atau kelompok rentan, mereka tidak cukup memiliki tabungan, karena itu mereka tidak bisa tinggal di rumah terlalu lama tanpa pekerjaan sehingga memutuskan untuk keluar. Itu sebabnya, sejak awal pandemi saya selalu menganjurkan kepada pemerintah untuk memberikan bantuan langsung tunai [BLT] kepada kelompok rentan," ujar Dede, panggilan akrab Chatib.
Dalam tulisannya, Chatib dan Namira menunjukkan bahwa jumlah tabungan masyarakat cenderung mengalami penurunan. Hal itu terlihat dari rasio tabungan terhadap pendapatan dengan pengeluaran bulanan.
Masyarakat di kelompok pengeluaran bulanan Rp1—2 juga, Rp2,1—3 juta, Rp3,1—4 juta, dan Rp4,1—5 juta cenderung mencatatkan penurunan tabungan. Kondisi berbeda terjadi di kelompok pengeluaran bulanan di atas Rp5 juta, yang justru mencatatkan kenaikan jumlah tabungan.
"Tabungan dari penduduk miskin mengalami penurunan selama pandemi karena mereka harus survive. Sebaliknya, tabungan dari kelompok kaya mengalami peningkatan," ujar Dede.
Chatib dan Namira pun menjelaskan bahwa terdapat kemungkinan bahwa pekerja mungkin harus menghabiskan waktu lebih singkat di rumah jika pemberi kerja mewajibkan mereka kembali ke kantor atau tempat kerjanya. Terlebih, jika di tempat kerja itu tidak terdapat kasus positif Covid-19 maka waktu tinggal di rumah menjadi lebih singkat.
Selain itu, terdapat aspek psikologis yang memengaruhi masyarakat untuk akhirnya meninggalkan rumah. Salah satunya merupakan bias optimisme yakni optimisme yang tidak realistis, ketika orang cenderung sangat yakin terhadap keberuntungan yang akan terjadi pada masa depan, dalam konteks pandemi orang-orang meremehkan kemungkinan terinfeksi virus ketika meninggalkan rumah.
Terdapat pula bias loss aversion, yaitu kecenderungan untuk memilih menghindari kerugian daripada memperoleh keuntungan yang setara. Orang-orang berpikir bahwa terinfeksi virus akan berdampak lebih kecil daripada kehilangan pendapatan karena tidak bekerja.
"Jika saya tinggal di rumah dan tidak bekerja, saya pasti akan kehilangan penghasilan, tetapi jika saya memutuskan untuk meninggalkan rumah dan bekerja tidak ada kepastian saya akan terinfeksi virus. Oleh karena itu, orang memilih untuk mengambil risiko dan meninggalkan rumah lebih cepat, bahkan jika keputusan mereka mungkin mengorbankan keuntungan jangka panjang," dikutip dari tulisan Chatib dan Namira.