Bisnis.com, JAKARTA - Wacana penerapan tarif KRL yang berbeda untuk penumpang kurang mampu dan 'orang kaya' dinilai akan memicu konflik dan kecemburuan sosial.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) Deddy Herlambang mengatakan rencana tersebut aneh dan ironi. Sebab, negara-negara lain seperti Hong Kong, Jepang, hingga Eropa pun menerapkan tarif KRL yang sama.
"Jadi tidak ada perbedaan tarif untuk orang kaya, miskin, tidak mampu, hingga setengah mampu. Semuanya diberlakukan tarif yang sama," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (29/12/2022).
Menurut Deddy, wacana ini bisa saja menimbulkan kecemburuan bahkan konflik sosial. Misalnya, orang yang mampu atau orang yang kaya merasa mereka perlu mendapat layanan istimewa karena tidak disubsidi dan membayar mahal.
Sementara itu, sambungnya, di dalam KRL mereka tetap berbaur dengan orang-orang biasa yang tarifnya disubsidi.
"Belum lagi nanti ada konflik sosial, misalnya karena mereka merasa mereka lebih mahal dan tidak disubsidi mereka harus duduk misalnya," ujar Deddy.
Baca Juga
Lebih lanjut dia tak bisa membayangkan jika nanti ada warga negara asing (WNA) atau masyarakat di luar Jabodetabek yang datang ke Ibu Kota dan naik KRL malah ditanya data kekayaan, laporan pajak, hingga nomor pokok wajib pajak (NPWP).
"Kan menjadi aneh sebenarnya. Jadi menurut saya justru itu tidak tepat," imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menegaskan tarif KRL tidak akan naik di 2023, tetapi bakal ada penyesuaian bagi kelompok masyarakat mampu. Sedangkan orang kaya akan membayar tarif KRL tanpa subsidi.
Adapun Budi berencana menyiapkan skema kartu untuk membedakan profil penumpang KRL tersebut. Dia mengeklaim langkah ini dilakukan agar subsidi public service obligation (PSO) tepat sasaran.
"Memang diskusi kemarin dengan Bapak Presiden, kami akan pilah-pilah. Mereka yang berhaklah yang akan mendapatkan subsidi. Jadi mereka yang tidak berhak harus membayar lebih besar dengan membuat kartu," tutur Budi.
Terpisah, Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan pihaknya tengah mengkaji pilihan-pilihan kartu perjalanan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan kemampuan membayar.
Adita menegaskan tarif KRL masih disubsidi negara lewat skema PSO. Namun, kenaikan biaya operasional belum dibarengi dengan kenaikan tarif.
"Maka perlu dilakukan berbagai upaya agar besaran PSO tetap dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran untuk masyarakat yang membutuhkan," ucap Adita.