Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Dian Novita Susanto

Ketua Umum DPP Perempuan Tani HKTI & Kandidat Doktor Agribisbisnis IPB University

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Polemik Kebijakan Impor Beras

Perlu diingat bahwa Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah mengizinkan Bulog mengisi CBP dengan kualitas premium, sehingga CBP mesti dihitung total 494.000 ton.
Pekerja berada di gudang Bulog di Jakarta, Rabu (2/9/2020). Bisnis/Nurul Hidayat
Pekerja berada di gudang Bulog di Jakarta, Rabu (2/9/2020). Bisnis/Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA - Setelah 3 tahun tidak mengimpor beras, pemerintah Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI).

Prestasi itu sedikit tercoreng di akhir tahun 2022 dengan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan stok beras di Perum Bulog. Lembaga parastatal itu per 6 Desember 2022 hanya menguasai 295.000 ton Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dengan kualitas medium dan 199.000 ton kualitas premium (komersial).

Perlu diingat bahwa Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah mengizinkan Bulog mengisi CBP dengan kualitas premium, sehingga CBP mesti dihitung total 494.000 ton. Pemerintah tidak mau mengambil risiko, mengingat pilihan untuk menutupi kekurangan tersebut melalui pengadaan dalam negeri tidak memungkinkan. Kementerian Perdagangan lalu memberi izin pada Bulog untuk impor 500.000 ton.

Kebijakan ini tentu dimaklumi karena jika dibiarkan dan terjadi suatu keadaan darurat ataupun gejolak harga beras yang melonjak karena menghadapi Natal dan Tahun Baru tentu sangat berbahaya. Belum lagi beras dikategorikan sebagai volatile food bersama sembilan pangan lainnya, yang menurut Bank Indonesia jika tidak dijaga maka akan bergejolak dan meyumbang inflasi.

Situasinya sangat rentan, belum lagi potensi eksploitasi pasar oleh pihak-pihak yang menguasai stok beras. Sebelum kebijakan impor 500.000 ton bahkan setelah diputuskan pun setidaknya sampai 7 Desember dalam Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IV dengan Kementerian Pertanian (Kementan), Badan Pangan Nasional (Bapanas), Perum Bulog, dan Badan Pusat Statistik (BPS) silang pendapat antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Bapanas-Perum Bulog berlangsung dengan tensi yang tinggi.

Kementan masih tetap berpatok pada data BPS bahwa tahun 2022 Indonesia surplus 1,8 juta ton. Sedangkan Bulog ketika turun lapangan tidak menemukan gabah/beras sebagaimana diklaim Kementan. Perbedaan data Kementan dan Bapanas memang wajar mengingat Kementan mengacu pada data potensi luas panen, sementara Bapanas menghitung berdasarkan stok yang dikuasai Bulog.

Pertanyaannya apakah karut marut ini hanya sekedar perbedaan dasar data acuan, atau justru ada masalah mendasar yang lebih penting untuk di dudukan sebagai akar masalah? Hemat penulis, dari data-data yang beredar dan sebagaimana kesimpulan Raker dan RDP 7 Desember bahwa potensi surplus beras memang benar adanya tetapi yang membuat stok di Bulog menyusut karena rendahnya serapan Bulog terutama saat panen raya di bulan Maret dan April.

PERBAIKAN MENYELURUH

Setiap kebijakan perberasan harus memperhatikan efeknya. Secara teoritis ada tujuh kategori, dua diantaranya adalah social welfare effects (siapa yang diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan, dan dampak keseluruhan terhadap kesejahteraan sosial); dan budget effects (dampak terhadap pengeluaran dan pendapatan pemerintah). Dengan rataan pengeluaran Bulog per bulan 120.000 ton (acuan di tahun 2020 dan 2021) maka stok Bulog setelah di kurangi kebutuhan bulan Januari dan Februari hanya sekitar 260.000 ton. Agar impor ini tidak berdampak pada harga jual gabah di tingkat petani, maka kuota 500.000 ton perlu ditinjau ulang, cukup 300.000 ton, sehingga total cadangan 560.000 ton cukup aman untuk stok selama 2 bulan kedepan jika sewaktu-waktu diperlukan.

Panen raya bulan Maret dan April, disini Bulog harus melakukan penyerapan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang idealnya 1,2 juta sampai 1,5 juta ton. Saat yang sama pemerintah c.q. Bapanas segera meninjau ulang HPP Gabah dan Beras yang saat ini terus mengalami perubahan.

Bahkan, jika mau memenuhi gudang Bulog yang kapasitas daya tampungnya sampai 3,6 juta ton maka di hilir harus ada penyalurannya. Kalau tidak akan menjadi sia-sia dan merugikan keuangan Bulog. Harus ada market baru kewajiban menyerap gabah dan beras di perbesar. Oleh karenanya, ke depan kebijakan perberasan harus memperhatikan kriteria bahwa secara sosial perubahan kebijakan beras yang diinginkan harus membuat setiap orang dapat menjadi lebih baik, atau setidaknya beberapa orang menjadi lebih baik dan tidak ada yang dirugikan, inilah kriteria Pareto.

Perempuan Tani HKTI memandang Kementan, Bapanas, BPS, dan Perum Bulog harus intens untuk berkoordinasi mengingat ketidakefisienan lembaga lembaga negara terutama mismanagement, malpraktik, ataupun mencari keuntungan pribadi adalah bentuk kegagalan negara. Berikutnya setiap kebijakan perberasan nasional harus didasarkan pada evidence based di mana data menjadi kunci dan agar memudahkan akses data itu, digitalisasi data secara real time menjadi jawaban. Terjadi penyelarasan serta validasi data produksi, kebutuhan nasional, dan ketersediaan beras dengan fakta di lapangan. Ini penting supaya kekisruhan ini tidak terjadi dikemudian hari.

Mengingat fungsi Perempuan Tani HKTI sebagai bridging institution, sudah saatnya mengurangi beban pemerintah pusat melalui pengembangan Cadangan Pangan Pemerintah Daerah/CPPD (provinsi, kabupaten/kota, desa) sesuai kebutuhan konsumsi masyarakat dan potensi pangan lokal, juga pengembangan sistem logistik pangan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan sampai ke pulau dan daerah terpencil.

Tidak kalah pentingnya Perempuan Tani HKTI mendorong sistem pertanian pangan yang tangguh dan ini dapat dilakukan dengan konektivitas; meningkatkan keanekaragaman (diversifikasi) baik konsumsi maupun bahan pangannya; peningkatan kapasitas produksi; mengurangi Food Loss and Waste (FWL). Hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas tentang FLW antara tahun 2000—2019 mencapai 23—48 juta ton atau setara 115—184 kg/kapita/tahun.

Timbulan FLW menimbulkan dampak yang beragam, mulai kenaikan emisi gas rumah kaca dan ini sangat berbahaya bagi atmosfer bumi, kerugian materi Rp213 triliun—Rp551 triliun per tahun atau setara dengan 4%—5% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, hilangnya gizi atau kandungan energi yang dapat memberi makanan 61—125 juta orang, setara dengan 29%—47% penduduk Indonesia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper