Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, meminta pemerintah untuk menawarkan skema bagi hasil (split) serta term and condition (T&C) yang menarik bagi pengembangan Blok East Natuna.
Komaidi menilai Blok East Natuna relatif masih prospektif untuk dikembangkan kendati keekonomian lapangan itu terlampau mahal saat ini.
“Saya kira masih cukup prospektif sebetulnya tinggal masalah bagi hasil dan perlakuan fiskalnya yang perlu disesuaikan supaya bloknya menjadi ekonomis,” kata Komaidi saat dihubungi, Rabu (14/12/2022).
Menurut Komaidi, pemerintah dapat mengurangi bagian hasilnya untuk mengompensasi ongkos pengembangan yang ditanggung Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada lapangan tersebut.
Dia beralasan kadar Co2 yang terkandung pada wilayah kerja (WK) East Natuna relatif besar yang ikut mengerek biaya pengembangan blok tersebut. Dengan demikian, dia menegaskan, pemerintah perlu menyusun penawaran baru yang disesuaikan dengan karakteristik lapangan itu.
“Dari sisi pemerintah tentu jangan mencari [split] sebesar-besarnya tetapi potensi ini perlu dimanfaatkan dari pada tidak diproduksi sama sekali,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pengelolaan Blok East Natuna di Pulau Natuna, Kepulauan Riau kembali ke titik awal. PT Pertamina (Persero) yang ditugasi oleh pemerintah sebagai pengembang dinilai tidak melakukan kemajuan.
“Ya, kita akan proses dulu bahwa dulu kan ada penugasan ke Pertamina. Kita kembalikan dulu ke negara kemudian kita akan lelang tender terbuka untuk D-Alpha,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji di Badung, Bali, Kamis (24/11/2022).
Pertamina, tambah Tutuka, sudah menyampaikan kepada pemerintah bahwa tidak keberatan jika Blok East Natuna dikembalikan ke negara. Proses pengembaliannya saat ini masih berlangsung.
“Nanti lelangnya pengumuman tidak tahu, ya. Tetapi ini sudah kita proses sekarang karena kalau bisa selesai tahun ini, bisa langsung tahun depan kita umumkan lelang itu,” jelasnya.
Sebagai informasi, Blok East Natuna ditemukan pada 1973 dan hingga saat ini masih belum dikembangkan. Seperti diketahui, blok itu menyimpan potensi sebesar trillion cubic feet (Tcf) dengan potensi gas yang recoverable sebesar 46 Tcf.
Kendati demikian, kendala utama pengembangan blok ini berkaitan dengan kadar Co2 yang relatif besar mencapai 72 persen dari keseluruhan potensi sumber daya terkira.
Adapun, blok ini semula dikelola ExxonMobil dan mendapatkan hak kelolanya tahun 1980. Namun lantaran tidak ada perkembangan, pada 2007 kontraknya dihentikan. Setahun kemudian, East Natuna diserahkan pengelolaannya ke PT Pertamina (Persero).
Selanjutnya, ExxonMobil, Total dan Petronas, bergabung. Posisi Petronas kemudian digantikan PTT Exploration and Production (PTT EP) pada 2012. Sayangnya 2017 konsorsium ini bubar dengan alasan tidak ekonomis dan menyisakan PT Pertamina.