Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menemukan bahwa praktik suap dalam proses perizinan berusaha masih banyak terjadi. Adanya ruang untuk suap membuat pelaku usaha memilih melakukannya selama memberikan manfaat ekonomi.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan bahwa masyarakat maupun pelaku usaha semakin memahami berbagai persoalan korupsi dan praktik apa saja yang tergolong sebagai korupsi. Namun, kondisinya berkebalikan dengan perilaku masyarakat yang masih permisif terhadap korupsi.
Menurutnya, masyarakat masih menganggap lumrah praktik memberikan sesuatu kepada pejabat atau penyelenggara negara. Sayangnya, praktik itu ternyata terjadi dalam hal pengurusan izin, ketika pemerintah menggembar-gemborkan bahwa tidak ada pungutan apapun dalam pengurusan izin usaha.
"Orang ketika mengurus perizinan dengan memberikan sesuatu itu bukan sesuatu hal yang buat mereka menjadi merasa bersalah. Oh, tidak, wajar saja Pak, dunia bisnis seperti itu, enggak ada perizinan yang gratis. Mereka sampaikan itu, para pengusaha-pengusaha itu," ujar Alexander dalam acara Puncak Peringatan Hakordia Kemenkeu Tahun 2022, Selasa (13/12/2022).
Para pengusaha melaporkan bahwa pada praktiknya tidak ada proses perizinan yang gratis. Secara formal mungkin memang tidak terdapat pengenaan biaya, tetapi di luar itu tetap perlu adanya biaya-biaya tertentu agar pengurusan izin bisa berjalan lancar, sehingga mengindikasikan bahwa praktik pungutan liar masih terjadi dalam pengelolaan investasi.
"Ya, kalau secara ekonomi kami dapat untung [dari memberi suap], enggak ada persoalan," ujar Alexander yang menirukan pernyataan para pengusaha.
Baca Juga
Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi masalah serius dalam praktik bernegara di Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tercatat ada di 38, masih berada di bawah rata-rata global yakni 43, dan membuat Indonesia berada di urutan 96 dari 180 negara.
IPK Indonesia berkutat di angka 37 dan 38 dalam lima tahun terakhir—sempat menyentuh 40 tetapi langsung turun ke 38. Alexander menyebut bahwa hal itu menggambarkan masih banyaknya praktik korupsi di Indonesia, bahkan seolah-olah menjadi hal yang lumrah.