Bisnis.com, JAKARTA - S&P Global Market Intelligence melihat tantangan geopolitik yang saling berhubungan terus mendominasi agenda di 2023 nanti. Tantangan yang saling berhubungan dari kemitraan keamanan global, integrasi keuangan, ketahanan rantai pasokan, dan migrasi tidak lagi membara di latar belakang.
Laporan yang baru terbit, “2023 Economics & Country Risk Outlook”, merupakan bagian dari seri laporan Outlook 2023. Laporan ini menyoroti bahwa memasuki 2022 lalu, pertanyaan di benak banyak orang adalah kecepatan pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Namun, invasi Rusia ke Ukraina pada Februari tahun ini memupus asa pemulihan tadi. Perang telah mendorong inflasi global melonjak tinggi di luar kelaziman yang mendorong bank-bank sentral secara agresif menaikkan suku bunga acuan untuk mengeremnya.
Tahun 2023 nanti, bank-bank sentral di negara ekonomi utama akan tetap fokus pada inflasi, dengan dampak kenaikan suku bunga acuan menambah tekanan lebih lanjut pada konsumen rumah tangga. Pengetatan kondisi keuangan menyebabkan perlambatan lebih lanjut dalam pertumbuhan ekonomi global, menempatkan dunia bisnis ke dalam risiko kerugian dan membuka peluang resesi lebih dalam di sejumlah negara.
Terdapat beberapa isu penting dan strategis yang harus disikapi para pengambil kebijakan di seluruh dunia dalam memasuki 2023 nanti. Pertama, dengan sikap pantang menyerah Ukraina menghadapi agresi militer Rusia, terutama untuk memulihkan wilayah yang telah dianeksasi sejak 2014, konflik kedua negara tampaknya akan berlanjut hingga 2023.
Kedua, memasuki 2023, banyak tergantung pada tingkat keparahan musim dingin di Eropa, ketika aliran energi (gas) berlanjut sebagai sanksi balasan oleh Rusia, dan pada prospek langkah-langkah global untuk membatasi harga minyak Rusia. Masalah kerentanan ekonomi dan energi akan mendorong strategi mitigasi jangka pendek di Eropa, meningkatkan tantangan fiskal, sosial, dan politik.
Ketiga, pengetatan kondisi keuangan akan menyebabkan perlambatan lebih lanjut dalam pertumbuhan ekonomi global, menempatkan ekspansi pelaku bisnis di wilayah konflik ke dalam risiko yang serius dan membuka peluang resesi akut di sejumlah negara di Eropa. Terjadi kombinasi dampak yang paradoksal, ditandai oleh tertahannya pertumbuhan ekonomi, dibarengi angka pengangguran yang membesar dan perbaikan kondisi rantai pasokan, yang pada akhirnya menyebabkan inflasi mereda dalam 2 tahun ke depan. Inilah ujung skenario yang akan terjadi di Eropa untuk kurun waktu 2023—2024 nanti.
Baca Juga
Tentu para pengambil kebijakan di seluruh dunia, khususnya di Eropa, harus mampu menyikapi ketiga kondisi di atas untuk menentukan kebijakan yang terukur, presisi dan efektif, sehingga skenario resesi di Eropa bersifat soft landing.
Sejauh ini, sebenarnya ekonomi global telah menunjukkan ketahanan yang luar biasa besar, ditandai oleh sejumlah negara yang tetap mampu tumbuh positif, terutama di kawasan Asia. Beberapa diantaranya adalah India, Indonesia, Filipina, Vietnam dan China. Dengan skala ekonomi yang besar dan menjadi anggota G20, India, dan Indonesia digadang-gadang mampu menopang perekonomian Asia, bahkan dunia.
Namun, ke depan rumah tangga di berbagai negara akan berada di bawah tekanan yang makin berat dari kenaikan suku bunga, inflasi tinggi, dan kekurangan pasokan energi. Kondisi ini mendorong lembaga-lembaga internasional menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi global, kawasan dan individu negara untuk 2023. Semua ini lantaran perang di Ukraina yang berlarut-larut menjadi penyebab utamanya.
OUTLOOK 2023
Perekonomian global masih akan menghadapi tantangan yang makin berat, kehilangan momentum, inflasi terus meningkat, kepercayaan konsumen melemah, dan ketidakpastian semakin tinggi. Perang Rusia vs Ukraina telah mendorong kenaikan harga secara substansial, terutama untuk energi, menambah tekanan inflasi pada saat biaya hidup meningkat pesat di seluruh dunia.
OECD mengungkapkan kondisi keuangan global telah mengetat secara signifikan, di tengah langkah-langkah agresif untuk menaikkan suku bunga kebijakan oleh bank-bank sentral dalam beberapa bulan terakhir. Kebijakan ini telah membebani pengeluaran seluruh rumah tangga yang sensitif terhadap suku bunga dan menambah tekanan yang dihadapi oleh banyak perekonomian pasar berkembang.
Kondisi pasar tenaga kerja yang ketat dan kenaikan upah tidak mengikuti arah inflasi telah melemahkan pendapatan riil, membuat kalangan rumah tangga tidak dapat menahan dampak lonjakan harga pangan dan energi yang lebih tinggi dan tidak normal. Itulah sebabnya OECD memperkirakan pertumbuhan PDB global menjadi 3,1% pada 2022 ini atau hanya separoh dari pertumbuhan PDB pada 2021 sebesar 6,1%.
PDB di kawasan euro dan Inggris diperkirakan tumbuh negatif atau kontraksi. Untuk negara-negara OECD, perkiraan pertumbuhan PDB untuk 2023 dan 2024 juga turun masing-masing menjadi 0,5% dan 1,9%. Sementara mengacu kepada World Economic Outlook (WEO) per Oktober 2022, beberapa negara diperkirakan tumbuh berkisar 0,3-0,8%. Bahkan, sedikit negara juga diperkirakan masih terkontraksi dengan pertumbuhan negatif.
Belanda diperkirakan tumbuh 0,80%, Perancis 0,66%, Polandia 0,49%, dan Inggris 0,32%. Terdapat tiga negara lain yang diperkirakan tumbuh negatif. Yakni, Italia diperkirakan terkontraksi -0,17%, Jerman -0,29%, dan Rusia -2,28%.
Di Asia, pertumbuhan PDB diperkirakan lebih baik dibandingkan Eropa. WEO yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) juga memperkirakan ekonomi Indonesia bakal tumbuh 4,97% di 2023. Angka ini berada di bawah India dan Filipina yang masing-masing diperkirakan tumbuh 6,06% dan 5,02%. Di posisi keempat, ekonomi Tiongkok diperkirakan tumbuh membaik menjadi 4,44%, diikuti Kazakhstan 4,39%. Malaysia diperkirakan tumbuh 4,38% di 2023. Untuk Thailand diprediksi tumbuh hanya 3,71% karena sektor pariwisata yang menunjang PDB belum pulih.
Yang menarik, perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia, kawasan dan negara-negara di atas sudah didiskon oleh risiko ketegangan geopolitik yang diperkirakan masih akan dihadapi di tahun depan. Maklum, perang di Ukraina masih menemui jalan buntu untuk tercapainya gencatan senjata atau perdamaian di antara kedua negara yang bersengketa.