Bisnis.com, JAKARTA - Investor mengungkap risiko utama yang menghantui pertumbuhan ekonomi global pada 2023. Mereka mengatakan harapan reli di pasar terlalu dini setelah penjualan brutal tahun ini.
Dilansir dari Bloomberg pada Senin (28/11/2022), hampir setengah dari 388 responden untuk survei MLIV Pulse terbaru mengatakan skenario di mana pertumbuhan terus melambat, sementara inflasi tetap meningkat akan mendominasi secara global tahun depan. Kondisi tersebut menciptakan stagflasi.
Hasil kedua yang paling mungkin terjadi adalah resesi deflasi, sementara pemulihan ekonomi dengan inflasi tinggi dipandang sebagai kemungkinan yang paling kecil.
Hasil survei tersebut menandakan tahun yang penuh tantangan untuk aset berisiko setelah pengetatan bank sentral, lonjakan inflasi dan dampak perang Rusia vs Ukraina telah memicu penurunan ekuitas terburuk sejak krisis keuangan global.
Terhadap latar belakang yang suram ini dan saham telah menguat pada kuartal IV, lebih dari 60 persen peserta survei mengatakan investor di seluruh dunia masih terlalu optimis terhadap harga aset.
Manajer portofolio Buffalo International Fund di Kornitzer Capital Management Inc. Nicole Kornitzer mengatakan tahun depan masih akan sulit,
"Pastinya, stagflasi adalah prospek [pertumbuhan ekonomi global] untuk saat ini." katanya dilansir dari Bloomberg pada Senin (28/11/2022)
Sementara itu, sekitar 60 persen peserta memperkirakan dolar AS akan melemah lebih lanjut sebulan dari sekarang. Pelemahan kontras dengan bulan lalu, ketika hampir setengah dari responden mengatakan mereka akan pergi ke pertemuan Federal Reserve (The Fed) pada November dengan posisi panjang dalam dolar AS/
Kekuatan greenback telah membebani beberapa kelas aset tahun ini, termasuk mata uang lain seperti euro dan ekuitas pasar berkembang. Penurunan dolar dapat menciptakan banyak peluang di tahun 2023 yang sudah diperkirakan akan lesu. Kornitzer menilai dolar AS mungkin akan melemah sepanjang 2023.
"Mungkin tidak secara dramatis, tapi trennya mungkin akan turun." katanya.
Semua mata tertuju pada The Fed, yang memasuki 2023 dengan pertumbuhan yang kemungkinan akan terhambat lebih jauh karena suku bunga tetap lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama. Kondisi tersebut telah diramalkan oleh Ketua Jerome Powell.
Pada saat yang sama, Zero Covid Policy yang ketat di China merupakan risiko lain bagi ekonomi global karena kasusnya mencapai rekor tertinggi.
Lebih dari setengah responden mengharapkan indeks S&P 500 untuk menyelesaikan 2023 dalam kisaran 10 persen lebih rendah atau lebih tinggi. Harapan sejalan dengan ekspektasi Wall Street, dengan ahli strategi di Goldman Sachs Group Inc., Morgan Stanley dan Bank of America Corp.
Mereka yang melihat S&P 500 relatif tidak berubah sekitar 12 bulan dari sekarang. Analis juga mengharapkan pendapatan yang memburuk membebani kinerja saham.
Direktur pelaksana Van Lanschot Kempen Amsterdam Anneka Treon mengatakan analis perlu menyesuaikan perkiraan pendapatan mereka ke bawah.
"Kami memperkirakan Eropa akan mengalami kontraksi ekonomi, Amerika Serikat kemungkinan besar hanya akan mampu menunjukkan pertumbuhan sedang, dan China tidak akan lagi mencapai ambisinya sendiri," ungkapnya.
Namun, untuk semua pesimisme, responden survei mengatakan inflasi AS lebih cenderung turun di bawah 3 persen pada tahun 2023 daripada melampaui 10 persen, menyiratkan beberapa kelegaan menjelang akhir tahun.
Menurunya, inflasi itu akan menjadi berita baik bagi pejabat The Fed yang telah memberi isyarat bahwa mereka condong ke arah penurunan ke kenaikan 50 basis poin pada Desember 2022 untuk mengurangi risiko pengetatan yang berlebihan.
Dalam hal peluang, peserta survei MLIV melihat peluang untuk mengambil obligasi jangka panjang dan saham teknologi, di antara tema lainnya. Kedua kelas aset tersebut telah terpukul tahun ini karena kenaikan suku bunga yang tajam.
Di antara risiko potensial lainnya pada 2023, yaitu perkembangan pasar perumahan di Inggris dan Kanada, dengan responden melihat kemungkinan 20 persen crash lebih tinggi di negara-negara tersebut daripada di negara lain. Lonjakan biaya pinjaman memaksa beberapa pembeli potensial keluar dari pasar dan memicu prediksi penurunan harga rumah.
Analis senior di Swissquote Ipek Ozkardeskaya menilai paruh pertama 2023 akan didominasi oleh kisah tarif yang lebih tinggi,
"Namun, sekitar kuartal ketiga dan keempat tahun depan, kami berharap retorika pasar bergeser ke arah 'pertumbuhan rendah dan resesi," pungkasnya.