Bisnis.com, JAKARTA — Kelompok petani menilai bahwa separuh produksi rokok nasional menggunakan tembakau impor, sehingga sudah mendekati ambang batas penggunaan bahan baku impor. Hal itu dinilai berbahaya bagi kelangsungan petani lokal.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji menilai bahwa infrastruktur kebijakan dalam produksi hasil tembakau saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Petani tembakau masih harus bersaing keras dengan barang impor.
APTI menilai bahwa penggunaan tembakau impor dalam produksi hasil tembakau sudah terlalu tinggi dan membuat petani lokal semakin sulit bersaing. Menurut Agus, pemerintah perlu mengatur lebih lanjut importasi dan penggunaannya dalam produksi rokok.
“Sekarang ini menurut data yang kami terima bahwa impor tembakau dari luar negeri sudah di ambang batas kedaulatan 50 persen lebih dari produksi nasional, sehingga ini perlu diatur sangat ketat agar rakyat Indonesia bisa merdeka di negeri sendiri,” ujar Agus pada Senin (28/11/2022).
Serapan tembakau lokal pun, menurut Agus, terkendala oleh berkembangnya hasil produk tembakau lainnya (HPTL) seperti rokok elektrik. Pasalnya, Agus menilai bahwa produk itu tidak menggunakan bahan baku tembakau lokal.
APTI pun menilai bahwa pemerintah harus mengendalikan produk HPTL dengan orientasi perlindungan produksi tembakau lokal.
“Artinya, paling tidak karena ini untuk kedaulatan, harus ada sebuah pengendalian karena produk tersebut sampai hari ini belum bisa berkompetisi di musim panen untuk membeli tembakau nasional. Yang berkompetisi untuk membeli tembakau nasional adalah industri yang masih bermerek kretek dan merah putih,” kata Agus.
HPTI dan para petani menggelar unjuk rasa di depan Kementerian Keuangan, Jakarta pada Senin (28/11/2022) mulai pukul 09.00 WIB. Mereka menolak kenaikan tarif cukai rata-rata 10 persen pada 2023 dan sejumlah kebijakan karena membebani petani.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa pihaknya telah menerima poin-poin aspirasi dari 11 perwakilan kelompok petani yang berdialog dengan pihak Kemenkeu.
Menurutnya, para petani meminta pemerintah untuk meninjau kembali kenaikan cukai hasil tembakau rata-rata tertimbang 10 persen. Kenaikan tarif itu dinilai sebagai beban bagi para petani dan tidak berbuah kesejahteraan.
Lalu, para petani menuntut pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan impor tembakau. Mereka ingin pemerintah memprioritaskan tembakau lokal sebelum melakukan impor.
Mereka juga menuntut pemerintah memberlakukan kebijakan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) yang lebih berkeadilan. Mereka menilai bahwa DBH CHT belum mampu mendukung kesejahteraan para petani.