Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom meningkatkan risiko besarnya beban bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah sebagai konsekuensi dari pembengkakan utang, yang melonjak selama masa pandemi Covid-19.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susamto mengatakan bahwa besarnya beban bunga dan semakin mahalnya biaya utang perlu menjadi perhatian utama pemerintah.
Menurutnya, biaya utang Indonesia akan semakin mahal ke depan terutama di tengah ketidakpastian pasar keuangan yang tinggi saat ini dan tahun depan.
“Kita harus berhati-hati karena isunya bukan hanya total utang sudah berapa, tetapi juga biaya utang yang sudah sangat mahal, jadi cost of fund yang sudah sangat mahal,” katanya, Senin (28/11/2022).
Akbar mengatakan alokasi pembayaran bunga utang yang harus dibayarkan pemerintah pada tahun depan mencapai Rp441,4 triliun atau 19,8 persen dari total belanja pada 2023.
Tingkat imbal hasil surat berharga negara (SBN) saat ini juga sudah lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara berkembang lainnya, seperti Vietnam, Malaysia, bahkan China.
Dia menambahkan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) dalam laporannya pun menyebutkan bahwa biaya utang Indonesia saat ini sudah termasuk salah satu yang terbesar di dunia.
Tingginya beban bunga utang menurutnya akan membatasi ruang gerak fiskal dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, meski rasio utang pemerintah terhadap PDB masih berada pada batas yang aman.
“Peran fiskal dalam mendorong perekonomian kita mungkin tidak bisa terlalu banyak, tidak bisa seperti pada periode 2021 dan 2022,” jelasnya.
Kemenkeu mencatat posisi utang pemerintah pada Oktober 2022 meningkat menjadi sebesar Rp7.496,70 triliun atau hampir Rp7.500 triliun. Nilai utang tersebut meningkat sebesar 11,71 persen jika dibandingkan dengan posisi utang pada periode yang sama tahun lalu, yang tercatat sebesar Rp6.687,28 triliun.
Jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, posisi utang pada Oktober 2022 juga meningkat, dari Rp7.420,47 triliun pada September 2022.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai peningkatan nominal utang tersebut masih dalam batas yang aman dan wajar, di mana rasio utang terhadap PDB mencapai 38,36 persen, lebih rendah dari Oktober 2021 yang sebesar 39,69 persen.
“Peningkatan tersebut masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali, diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal,” tulis Kemenkeu dalam Buku APBN Kita edisi November 2022.
Kepemilikan SBN saat ini juga didominasi oleh perbankan dan Bank Indonesia. Sementara itu, porsi kepemilikan investor asing terus mencatatkan penurunan sejak 2019 yang mencapai 38,57 persen, hingga per 14 Oktober 2022 mencapai 14,00 persen.
“Hal tersebut menunjukkan upaya pemerintah yang konsisten dalam rangka mencapai kemandirian pembiayaan dan didukung likuiditas domestik yang cukup. Meski demikian, dampak normalisasi kebijakan moneter terhadap pasar SBN tetap masih perlu diwaspadai,” sebut Kemenkeu.